test

Mircea Eliade; Sakral dan Profan

  

Mircea Eliade; Sakral dan Profan


Hati manusia selalu terbuka dan dapat menerima segalanya: semua yang baik dan buruk menjadi bagian dari Sufi---Jalauddin Rumi

 

Himmah Tuhan menciptakan dunia supaya segala sesuatu yang ada dalam pengetahuan-Nya menjadi tersingkap---Jalauddin Rumi

 

A.    Ketika yang sakral memanifestasikan  diri

Manusia menjadi sadar terhadap keberadaan yang sakral karena ia memanifestasikan dirinya, sebagai sesuatu yang berbeda secara menyeluruh dari yang profan.  Pola manifestasi  dari yang sacral---istilah hierophany--- bahwa sesuatu yang sacral menunjukkan dirinya pada kita.   Bagi banyak manusia, yang sakral dapat mewujud dalam bebatuan atau pepohonan, yang terjadi bukan pemujaan batu dalam dirinya sendiri, pemujaan pepohonan dalam dirinya sendiri.  Pohon sakral, batu sakral tidak disembah sebagai batu atau pohon ; mereka disembah karena mereka Hierophany---mereka menunjukkan sesuatu yang tidak lagi batu atau pohon tetapi sakral, ganz andere.

Dengan memanifestasikan yang sakral, sebuah objek menjadi sesuatu yang lain tanpa menghilangkan sifat objek sebelumnya, karena ia tetap berhubungan dengan lingkungan kosmik yang ada di sekitarnya.  Batu sakral tetap sebagai sebuah batu; bentuknya (atau lebih tepatnya dari sudut pandang profan) tidak ada sesuatupun yang membedakannya dari batu yang lain.  Tetapi bagi mereka yang melihatnya sebagai sebuah batu yang menunjukkan dirinya sebagai yang sakral, realitas ini dirubah menjadi sebuah realitas supernatural. Bahkan Kosmos ini dalam keseluruhannya dapat menjadi Hierophany. Yang sakral identik dengan Ada (being) dan oposisi sakral-profan sering ditunjukkan sebagai oposisi antara yang nyata dan tidak nyata atau palsu.

 

B.    Dua Pola Mengada

Pengalaman-sakral dan profane jelas kelihatan  pada deskripsi mengenai fungsi-fungsi vital manusia (makanan, seks, kerja, dan sebagainya).   Bagi kesadaran modern, kegiatan fisikal---makan, seks, dan sebagainya---hanya fenomena organik.  Tetapi bagi manusia primitif, tindakan  bukan sekedar fisiologis ; tindakan tersebut  dapat menjadi sakramen yaitu penyatuan diri dengan sakral.   Sakral dan profan dua pola kehidupan di dunia, dua jalan mengada yang di tempuh oleh manusia dalam perjalanan sejarah.  Pola kehidupan yang sakral dan profan memiliki dasar yang berbeda dalam kosmos yang dihuni manusia; karenanya mereka telah lama menjadi perhatian baik pada filsuf atau siapa saja yang mencoba menemukan dimensi-dimensi yang mungkin dari eksistensi manusia.

 

C.     Sakral-Profan dan Ruang-Waktu

Bagi manusia religius, ruang tidaklah homogen ; ia mengalami interupsi, perubahan didalamnya ; ada bebarapa bagian ruang yang berbeda secara kualitatif dari yang lain. Dengan demikian, terdapat ruang yang sakral,  sebuah ruang yang kokoh dan penting.  Ketika yang sakral memanifestasikan dirinya sebagai  hirofani, yang terjadi bukan hanya bengkahan dalam homogenitas ruang ; tetapi juga penyingkapan rahasia realitas absolute, yang dilawankan dengan non realitas yang melingkupi.  Manifestasi dari yang sakral membangun dunia secara ontologi.   Sebaliknya, dalam pengalaman profan, ruang adalah homogeny dan netral; tidak ada perbedaan qualitatif yang membedakan antara satu bagian dengan yang lain.

Di dalam tempat-tempat yang sacral, dunia profane ditransendenkan. Ditunjukkan oleh berbagai imej pembukaan (images of an opening), komunikasi dengan dewa, pintu ke dunia atas , dimana para dewa dapat turun ke bumi dan manusia dapat naik ke surga secara simbolis.   Setiap ruang yang sacral menandakan adanya hirofani , kehadiran yang sacral yang membuatnya terpisah dari lingkungan kosmik yang melingkupinya dan membuatnya berbeda secara qualitatif. Teofani atau hirofani sering tidak diperlukan; beberapa tanda  dianggap cukup untuk menunjukkan kesakralan sebuah tempat.   Ketika tidak ada tanda yang muncul, maka harus dihadirkan. Sebuah tanda dibutuhkan, untuk mengakhiri ketegangan dan kecemasan yang disebabkan oleh relativitas dan disorientasi –singkatnya, untuk menyingkapkan titik sandaran absolut. 

Bagi manusia religius, waktu juga tidak homogeny dan berkelanjutan.  Pada dasarnya waktu sakral dapat diulang-balik, yaitu, penghadiran kembali waktu mitos (mythical time) primordial.   Waktu sakral tidak “berlalu”.  Waktu sakral adalah waktu Ontologis, waktu Parmenidean; ia selalu sama dengan dirinya sendiri. Ia tidak berubah maupun habis.   Waktu sakral, tampak sebagai aspek paradox dari waktu sirkular, dapat dibalik dan dapat diperoleh kembali. Waktu sakral yang, dari satu sudut pandang, dapat disamakan dengan keabadian. Manusia non religius karena ia juga mengalami diskontinyuitas dan heterogenitas tertentu. Baginya juga terdapat waktu monoton dari aktivitas kerjanya, serta waktu perayaan dan pertunjukan—singkatnya “waktu pesta”. Dia juga hidup dalam berbagai ritme temporal dan menyadari intensitas-intesitas waktu yang berbeda; ketika ia mendengarkan music yang ia sukai atau, sedang jatuh cinta, dia sungguh-sungguh mengalami ritme temporal yang berbeda dari yang ia alami ketika ia sedang bekerja atau bosan.  Bagi manusia profane waktu tidak memiliki jeda maupun misteri, baginya waktu merupakan dimensi eksistensial, karenanya waktu memiliki sebuah permulaan dan akhir, yaitu kematian.

 

D.    Pusat Dunia; Chaos (Kekacauan) dan Cosmos (Keteraturan)

Masyarakat tradisional mempertentangkan wilayah yang didiami,   ruang yang tidak diketahui serta ruang yang mengantarai keduanya.  Wilayah yang dihuni adalah dunia (dunia kita), kosmos atau keteraturan.  Wilayah yang dihuni dan terorganisasi---dengan demikian telah dikosmikan---dan di sisi lain ada kekacauan atau chaos.  Dunia (yaitu dunia kita) adalah semesta yang di dalamnya  yang sakral memanifestasikan diri yang kosekuensinya penerobosan dari satu tataran menuju tataran yang lain menjadi mungkin dan dapat diulangi.  Dari sini, kita akan memahami mengapa sakralisasi wilayah itu sama artinya dengan membuat wilayah ini menjadi kosmos, untuk mengkosmiskannya.  Sebaliknya, wilayah yang tidak di kenal, asing dan tidak dihuni (“tidak dihuni oleh masyarakat kita”) masih berada dalam wilayah kekacauan yang belum sempurna. Dengan menempatinya dan terutama, dengan berdiam di dalamnya  manusia secara simbolik mentranspormasikannya menjadi kosmos melalui pengulangan ritual kosmologi. Apa yang akan menjadi “ dunia kita” harus ”dicipta” lebih dulu dan setiap penciptaan memiliki model paradikmatik penciptaan jagat raya oleh dewa-dewa.

Tiga tingkatan kosmik---bumi, surga, neraka---sudah berada dalam komunikasi. Melalui imej pilar semesta; axis mundi yang langsung menghubungkan dan menopang surga dan bumi dan yang dasarnya terletak di dunia bawah (neraka). Pusat jagad raya, membentuk sebuah sistem yang disebut “sistem dunia” yang lazim di masyarakat tradisional : (a) tempat yang sakral merupakan jeda dalam homogenitas ruang; (b) jeda ini disimbolkan dengan pembukaan yang memungkinkan adanya jalan lintas dari satu wilayah kosmik ke wilayah yang lain (dari surge ke bumi dan sebaliknya; dari bumi ke neraka); (c) komunikasi dengan surga diwujudkan oleh imej-imej, dimana semua mengacu kepada axis mundi : pillar (lihat universalis columna), tangga (bandingkan, tangga Yakub), gunung, pohon, anggur dan sebagainya; (d) di seputar poros kosmik terbentang dunia (=dunia kita), karenanya poros tersebut terletak “di tengah,” pada “pusat bumi” ; poros ini adalah Pusat Dunia.

Contoh yang secara langsung menunjukkan konsistensi juga kompleksitas tipe simbolisme ini-gunung kosmik.   Meru di India, Haraberezaiti di iran, mitos “gunung daratan (mount of the Land)”  di Mesopotamia, Gerizim di Palestina – yang, karena itu, juga disebut “pusat bumi”.  Karena gunung yang sacral merupakan axis mundi  yang menghubungkan bumi dengan surga, gunung yang sakral dalam pengertian tertentu menyentuh surga dan karenanya menandai titik tertinggi di dunia; dalam tradisi Yahudi : Palestina, menjadi daerah tertinggi, tidak di genangi banjir.  Menurut tradisi Islam, tempat tertinggi di bumi adalah Ka’bah, karena “Bintang Kutub menjadi saksi bahwa Ka’bah menghadap pusat surga. Bagi orang Kristen, tempat tertinggi adalah Golgotha yang berada pada puncak gunung kosmik. Semua kepercayaan ini menunjukkan perasaan yang sama , yaitu perasaan religius yang mendalam : “dunia kita” merupakan tanah suci karena dunia kita adalah tempat yang paling dekat dengan surga, karena dari sini, dari tempat tInggal kita, memungkinkan untuk menjangkau surga; makanya dunia kita adalah tempat yang tinggi.  Kesimpulan, manusia religius berusaha hidup sedekat mungkin dengan Pusat Bumi.   Di setiap dimensi ruang yang dia kenal dan dimana dia berada---negeri, kota, kampung, rumah---manusia religius merasakan kebutuhan untuk selalu berada dalam dunia yang utuh dan teratur, dalam kosmos.


 

Sumber :

Mircea Eliade, Sakral dan Profan, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2002

 

 

 

 

 

 

Mircea Eliade; Sakral dan Profan Mircea Eliade; Sakral dan Profan Reviewed by Alfian Renaldi on September 04, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.