Sigmund Freud ; Agama adalah Neurosis Kolektif
Dia yang berilmu dan berseni, Maka dia
pun beragama, Tapi dia yang tak berilmu maupun berseni, Maka baiklah jika dia
beragama—Goethe
apa yang tidak dapat kita peroleh dari ilmu pengetahuan akan
bias kita dapatkan di lain tempat---Sigmund
Freud
A. Pendahuluan
Sigmund
Freud selalu menganggap dirinya seorang ateis. Dia bahkan mengatakan tidak
pernah mengalami suatu perasaan “bagaikan
samudera” (sentation of eternity) yang digambarkan banyak orang sebagai “sensasi
akan kebaikan”. Meskipun Freud tidak
punya perasaan religius namun dia sangat hormat terhadap agama dari
kliennya---dalam praktek psikoanalisisnya dia memperlihatkan toleransi. Dia menyatakan bahwa psikoanalisis adalah suatu
alat netral membantu pembebasan manusia, bukan senjata melawan keyakinan agama.
Dalam praktek, dia mengijinkan pastor untuk melibatkan pasiennya dengan suatu
agama: sublimasi religius kadang-kadang dapat menekan suatu neurosis individu.
Ketika
Freud menyelidiki asal-usul agama, dia melihat agama hanya
merupakan suatu produk imajinasi. Bahwa
realitas religius ”bukan lain adalah sesuatu
yang bersifat psikologis yang di proyeksikan kedunia luar.” Lalu bagaimana mungkin proyeksi itu terjadi? Menurut
Freud, subjek dari proyeksi tersebut adalah suatu psike yang mengacuhkan
dirinya sendiri dalam mengubah suatu kandungan yang pada kenyataannya merupakan
milik psike itu sendiri, menjadi suatu realitas “supra-sensibel” (supra-sensible). Dengan demikian agama tidak menyembunyikan
suatu rahasia dan tidak tahan terhadap analisis---segera setelah seseorang
menyentuhnya, ide tentang tuhan menghilang kedalam kepadatan psike manusia.
Kesimpulan
Freud; “tuhan merupakan ciptaan kekuatan
psike yang terdapat dalam diri manusia.” Mereka bekerja dibawah nama pinjaman, mereka
hanyalah figuran: dari sisi samping, kita selalu (melihat Tuhan) sekilas
sebagai figur dari seorang bapak. Prilaku Religius secara sosial merupakan suatu
pengulangan hubungan anak-bapak yang dimantapkan. Tugas yang disusun Freud sendiri adalah
mengeluarkan semua tuhan dari psike manusia. Apapun yang telah dibangun oleh
agama, ilmu pengetahuan harus membongkarnya. Ilmu pengetahuan ”mengubah metafisika menjadi
metapisikologi”, yaitu ilmu pengetahuan harus menerjemahkan teologi kedalam
istilah-istilah psikoanalisis.
B. Oedipus
Complex
Perbedaan
cara energy psike ditanamkan bukan pilihan yang dibuat secara bebas. Dari sini kemudian muncul konflik
bagaimana mengatur adaptasi satu dengan
lainnya atau untuk mempengaruhi beberapa eliminasi atau untuk mencapai suatu
keseimbangan. Agama seperti neurosis,
merupakan hasil dari sebuah kompromi. Bagaimana
kompromi ini bisa muncul? Freud melalui Oeidipus
Complex memberikan penjelasan; situasi konfliktual terjadi pada masa kecil
sebagai tahap oedipal (oedipal stage) kira-kira usia empat atau lima tahun,
suatu kedekatan afektif terhadap Ibunya dan
pertentangan yang diilhami-kebencian (hatred-inspired) terhadap Bapaknya.
Ada saat ketika dia membangkitkan ide
tentang cinta, dia beralih dengan sangat alami pada objek afektif pertama---ibunya---dan
menyatakan objek ini sebagai hak milik ekslusifnya. Bapaknya kemudian tampak sebagai suatu lawan
karena ibunya adalah milik Bapaknya dan akhirnya, Bapaknya menjadi sasaran permusuhan
yang keras. Kebencian ini membawa suatu
hasrat nyata untuk membunuh Bapaknya,
Sang Bapak harus dihilangkan. Tapi Sang
Bapak adalah musuh yang sangat kuat yang mengontrol Sang Anak, Sang Anak harus
menyerah dan mematuhi kehendak (will) Bapaknya.
Neurosis
adalah model yang digunakan Freud untuk menjelaskan fenomena agama. Dia percaya bahwa konflik Oedipus merupakan
sumber tidak hanya bagi neurosis tapi juga bagi agama. Lewat penyelidikan
historis dan mencoba menemukan suatu Konpleks Oedipus Kolektif dalam sejarah
masa lalu ras manusia, Freud membuat hipotesa bahwa; sesuatu yang mirip dengan konflik oedipal telah terjadi pada awal
sejarah ras manusia. Untuk menopang
hipotesanya dengan fakta-fakta yang mebuatnya menjadi masuk akal, hipotesanya
dianalisis dengan menggunakan system patriarkal dari Darwin dan mengambil analisis
totem dari Robertson Smith. Dengan menggunakan sistem patriarkal: Sang Bapak mempunyai semua
otoritas dan memonopoli kenikmatan. Sang Anak tidak memiliki apapun dan
tergantung kehendak baik Sang Bapak. Sang anak laki-laki, karena lelah untuk
tunduk pada otoritas Sang Bapak dan dicabut nikmatnya, membentuk suatu kelompok
untuk melawan Sang Bapak dan membunuhnya.
Pembunuhan menjadikan suatu peradaban tapi sekaligus meninggalkan suatu
tanda mendalam pada umat manusia. Trauma
pembunuhan menimbulkan jejak dalam bentuk suatu perasaan bersalah.
Pembunuhan
primal berlanjut menjadi suatu beban dalam kesadaran manusia. Pembunuhan ini menciptakan perasaan bersalah
dimana umat manusia tidak pernah berhasil membuangnya dan membimbing manusia
menciptakan agama---sebagaimana banyak srategi lain untuk membebaskan manusia
dari perasaan bersalah. Perasaan akan
kebebasan yang diharapkan, tidak pernah terjadi. Ketaksadaran kolektif, yang menampakan diri
dalam konteks ini lalu dialihkan dan agama menjadi cara untuk menetralkan suatu
perasaan bersalah. Agama adalah suatu
usaha untuk mengusir perasaan bersalah yang disebabkan oleh pembunuhan dan
untuk mewujudkan penyesalan karena tindakan itu.
Melalui
analisisi totem dari Robertson Smith,
menurut Freud; totem selalu merepresentasikan Sang Bapak; pemakan totem
merupakan suatu pesta merayakan kemenangan
Sang Anak laki-laki melawan Sang Bapak; Sang Anak laki-laki merayakan
pembunuhan atas Bapaknya melalui acara makan (totem) yang sama mereka
mengapropriasi kekuatan Sang Bapak untuk dari mereka sendiri. Segera setelah
Sang Bapak dibunuh, Sang Anak laki-laki
lalu mengorganisasi kehidupan bersama mereka dan untuk mecegah retrogesi
(kembali masa lalu) serta menjauh dari kekerasan, mereka lalu memantapkan
aturan bagi kehidupan social---khususnya larangan inses dan pembunuhan. Dari
sinilah awal dimulainya suatu peradaban (civilization).
Jika
semua bukti gabungan diatas dibuat hukumnya, maka hipotesis Kompleks Oedipus
(Oedipus Complex) ditetapkan bahwa; semua umat manusia mengalaminya---larangan
inses dan pembunuhan meyimpulkan
eksitensi dari suatu kompleks semacam itu. Larangan inses dan pembunuhan diidentifikasi dalam tiga situasi dimana Freud
ingin memperbandingkannya; tahap oedipal
(represi cinta terhadap Sang Ibu dan kebencian terhadap Sang Bapak), neurosis (suatu fiksasi pada tahap
oedipal dan suatu kristalisasi tahap ini dalam bentuk suatu kompleks) dan umat manusia primitif (yang menemukan
dalam dua macam larangan sebagai satu-satunya jalan menghindari konfrontansi
berdarah dan mendapat sirkulasi perempuan dan pertukaran perempuan di antara
anggota-anggota suatu klan). Penemuan
unsur-unsur yang sama dalam berbagai situasi menegaskan Freud bahwa Kompleks
Oedipus mempunyai kesamaan di antara ketiganya.
C. Analisis
antara Neurosis dan Agama
Agama
suatu bentuk prilaku yang sejalan dengan prilaku neurosis. Apakah agama itu kalau bukan suatu ketaatan seremonial
yang diatur secara ketat, suatu kepatuhan pada larangan, penerimaan pada ritual
yang dikodifikasi dari mana sebuah tingkah dan kesalahan di keluarkan dari
kodifikasi? Agama berkarakter “universal” sedang neurosis berkarakter “prifat” (private). Persamaa antara dua fenomena tersebut membawa
Freud membuat hipotesis; mereka mempunyai suatu kesamaan asal-usul, sedang perbedaannya
membawa dia untuk melihat akar neurosis dalam “Psike Individu” dan akar agama dalam “Psike Kolektif” yang dibentuk pada permulaan eksistensi ras dan
tetap berlangsung pada semua umat manusia.
Kedua fenomena secara dekat saling terhubungkan, tidak hanya pada
tingkat gejala-gejala tapi juga pada tingkat sebab-sebab. Freud
tidak ragu merubah terminologi dan
mendeskripsikan “neurosis obsesional sebagai suatu system religius privat dan agama
sebagai suatu neurosis observasional yang universal.” Masing-masing istilah
dapat saling mengantikan diantara keduanya tanpa mendistorsi realitas.
Satu-satunya
jalan untuk kembali pada kesamaan asal-usul ini (baca eksis) adalah melalui psike
itu sendiri---dalam situasi ini, sublimasi atau represi merupakan reaksi
terhadap konflik oedipal. Freud
menganggap bahwa Neurosis merupakan tanda dari suatu konflik. Neurosis suatu
bentuk kesalahan, suatu prilaku yang dikembangkan oleh ego karena menghindari bahaya. Ego
selalu mengartikan dirinya dalam suatu situasi membahayakan, sehingga ego harus tetap melalui jalannya sendiri
sambil menghindari dua jebakan---satu ditentukan oleh id (suatu bak penampungan insting) yang lain ditentukan oleh super-ego (tuntutan yang dipaksakan oleh
masyarakat). Ego selalu bimbang di antara insting seksual id (yang menuntut suatu pemuasan langsung yang maksimum) dan
perintah super-ego (yang merespresentasikan tuntutan realitas dan mempunyai
kekuatan hukum); merintangi, mencegah, melarang. Ego dapat dibandingkan dengan seorang
borjuis jujur yang menjadi korban kebetulan dari suatu konfrontasi antara
bangsat jahat (insting) dan polisi yang menyebalkan (aturan yang di keluarkan
oleh super-ego).
Terperangkap
dalam jalan di antara dua tuntutan yang saling berlawanan, ego
secara konstan menghasilkan kompromi---neurosis salah satu jenis komromi. Kompromi patologis yang di kembangkan ego demi mendapat kerugian dari insting
(dimana ego dengan mati-matian merespresi
insting). Kompromi lain adalah mungkin secara khusus
dalam penanaman energi psike dalam bentuk aktifitas tertentu yang secara sosial
dapat diterima: seni, sastra, pemujaan-diri (self-sacrifice). Dalam neurosis, energy psike suatu hastrat dipakai habis tapi dengan
kerugian yang sedikit. Energi digunakan dalam suatu perjuangan luar biasa
melawan hastrat itu sediri tanpa pernah ego
mencapai suatu keseimbangan yang memuaskan. Dalam agama, energy psike ini
secara bermanfaat dijalankan dalam suatu pengabdian dengan maksud yang dapat
diterima secara sosial. Dalam kasus ini kompromi dapat membawa pada suatu
keseimbangan yang meguntungkan bagi ego.
D. Penutup
Melalui
Kompleks Oedipus (Oedipus Complex), Freud mendapatkan akar kuno semua agama.
Pada dasar setiap agama---termasuk dasar setiap neurosis---dapat ditemukan
”inti-bapak” (father-nucleus). Bentuk agama-agama itu mungkin bervariasi
tapi semua tumbuh dari akar psikologis yang sama. Walaupun hipotesis Freud pada pembunuhan primal sebagai
sumber dari suatu agama dengan maksud membantu
umat manusia mengatasi hubungan yang sulit dengan Sang Bapak, namun dia
menekankan pada fungsi agama yang nyata yaitu; untuk menghibur orang-orang yang mengalami pengabdian hidup yang kasar.
”Hidup sebagaimana kita ketahui, terlalu keras bagi kita, hidup membawa kita
pada banyak penderitaan, kekecewaan dan tugas-tugas yang mustahil.” Menurut
Freud, orang-orang mengalami kekerasan dengan tiga cara; mereka merasa
dihancurkan oleh alam, terkutuk sampai mati dan terluka akibat hubungan dengan
orang lain. Agama kemudian berusaha mengatasi tiga kesalahan ini dan mengusir
takdir manusia yang keras; ”tuhan mempertahankan tiga macam tugasnya; mereka
harus mengusir teror dari alam, mereka harus mendamaikan manusia dengan
takdirnya yang keras, khususnya sebagaimana terlihat pada kasus kematian, dan
mereka harus memberikan kompensasi pada manusia karena penderitaan dan
kekurangannya yang telah dipaksakan pada manusia oleh keberadaban hidup secara
umum.”
Maka, apa agama itu? Ia merupakan suatu
ilusi, suatu harapan yang di ilhami, oleh suatu keinginan tertentu. Agar hidup dapat dijalani, hasrat yang
frustasi menciptakan suatu ilusi yang kita sebut agama---kepercayaan akan Tuhan
yang baik dan kepercayaan akan keabadian. Beberapa orang mencari perlindungan
dalam penderitaan, yang lain pada obat-obatan, sedang lainnya mencari hiburan.
Kebanyakan orang mencoba menetralisir kekerasan hidup dengan mencari
penghiburan melalui narkotik yang dikenal sebagai agama. Dengan mengarahkan
pengikut-pengikutnya menjadi suatu mania kelompok, agama menyiapkan mereka
untuk menjadi beban dari neurosis individu.
Umat manusia harus berusaha menjadi dewasa; pengiburan agama tidak lagi
pantas mendapat kepercayaan dari umat manusia. Manusia harus memasuki tahap
ilmiah dan mencoba menguasai dunia; apapun yang dipaksakan pada mereka, mereka
harus tabah. mereka harus menerima kematian demi satu hal, sebagai suatu nasib
yang tak terelakkan. Freud mengharapkan
suatu perkembangan semacam itu (tahap ilmiah) diantara orang terdidik. Ilmu
pengetahuan tidak menjanjikan dalam kantungnya; ia hanya punya satu tugas untuk
menentukan sesuatu di hadapan kita, “tapi suatu ilusi akan beranggapan bahwa apa yang tidak dapat kita peroleh dari ilmu
pengetahuan akan bias kita dapatkan di lain tempat”. Seperti dilihat Freud, ilusi agama sedikit demi sedikit kehilangan
pegangannya dalam pikiran umat manusia bersamaan berlalunya waktu.
Sumber;
Marcel Neusch dalam; 10 Filsuf Pemberontak tuhan, Panta Rhei
Books, Jogjakarta, 2004
Sigmund Freud ; Agama adalah Neurosis Kolektif
Dia yang berilmu dan berseni, Maka dia
pun beragama, Tapi dia yang tak berilmu maupun berseni, Maka baiklah jika dia
beragama—Goethe
apa yang tidak dapat kita peroleh dari ilmu pengetahuan akan
bias kita dapatkan di lain tempat---Sigmund
Freud
A. Pendahuluan
Sigmund
Freud selalu menganggap dirinya seorang ateis. Dia bahkan mengatakan tidak
pernah mengalami suatu perasaan “bagaikan
samudera” (sentation of eternity) yang digambarkan banyak orang sebagai “sensasi
akan kebaikan”. Meskipun Freud tidak
punya perasaan religius namun dia sangat hormat terhadap agama dari
kliennya---dalam praktek psikoanalisisnya dia memperlihatkan toleransi. Dia menyatakan bahwa psikoanalisis adalah suatu
alat netral membantu pembebasan manusia, bukan senjata melawan keyakinan agama.
Dalam praktek, dia mengijinkan pastor untuk melibatkan pasiennya dengan suatu
agama: sublimasi religius kadang-kadang dapat menekan suatu neurosis individu.
Ketika
Freud menyelidiki asal-usul agama, dia melihat agama hanya
merupakan suatu produk imajinasi. Bahwa
realitas religius ”bukan lain adalah sesuatu
yang bersifat psikologis yang di proyeksikan kedunia luar.” Lalu bagaimana mungkin proyeksi itu terjadi? Menurut
Freud, subjek dari proyeksi tersebut adalah suatu psike yang mengacuhkan
dirinya sendiri dalam mengubah suatu kandungan yang pada kenyataannya merupakan
milik psike itu sendiri, menjadi suatu realitas “supra-sensibel” (supra-sensible). Dengan demikian agama tidak menyembunyikan
suatu rahasia dan tidak tahan terhadap analisis---segera setelah seseorang
menyentuhnya, ide tentang tuhan menghilang kedalam kepadatan psike manusia.
Kesimpulan
Freud; “tuhan merupakan ciptaan kekuatan
psike yang terdapat dalam diri manusia.” Mereka bekerja dibawah nama pinjaman, mereka
hanyalah figuran: dari sisi samping, kita selalu (melihat Tuhan) sekilas
sebagai figur dari seorang bapak. Prilaku Religius secara sosial merupakan suatu
pengulangan hubungan anak-bapak yang dimantapkan. Tugas yang disusun Freud sendiri adalah
mengeluarkan semua tuhan dari psike manusia. Apapun yang telah dibangun oleh
agama, ilmu pengetahuan harus membongkarnya. Ilmu pengetahuan ”mengubah metafisika menjadi
metapisikologi”, yaitu ilmu pengetahuan harus menerjemahkan teologi kedalam
istilah-istilah psikoanalisis.
B. Oedipus
Complex
Perbedaan
cara energy psike ditanamkan bukan pilihan yang dibuat secara bebas. Dari sini kemudian muncul konflik
bagaimana mengatur adaptasi satu dengan
lainnya atau untuk mempengaruhi beberapa eliminasi atau untuk mencapai suatu
keseimbangan. Agama seperti neurosis,
merupakan hasil dari sebuah kompromi. Bagaimana
kompromi ini bisa muncul? Freud melalui Oeidipus
Complex memberikan penjelasan; situasi konfliktual terjadi pada masa kecil
sebagai tahap oedipal (oedipal stage) kira-kira usia empat atau lima tahun,
suatu kedekatan afektif terhadap Ibunya dan
pertentangan yang diilhami-kebencian (hatred-inspired) terhadap Bapaknya.
Ada saat ketika dia membangkitkan ide
tentang cinta, dia beralih dengan sangat alami pada objek afektif pertama---ibunya---dan
menyatakan objek ini sebagai hak milik ekslusifnya. Bapaknya kemudian tampak sebagai suatu lawan
karena ibunya adalah milik Bapaknya dan akhirnya, Bapaknya menjadi sasaran permusuhan
yang keras. Kebencian ini membawa suatu
hasrat nyata untuk membunuh Bapaknya,
Sang Bapak harus dihilangkan. Tapi Sang
Bapak adalah musuh yang sangat kuat yang mengontrol Sang Anak, Sang Anak harus
menyerah dan mematuhi kehendak (will) Bapaknya.
Neurosis
adalah model yang digunakan Freud untuk menjelaskan fenomena agama. Dia percaya bahwa konflik Oedipus merupakan
sumber tidak hanya bagi neurosis tapi juga bagi agama. Lewat penyelidikan
historis dan mencoba menemukan suatu Konpleks Oedipus Kolektif dalam sejarah
masa lalu ras manusia, Freud membuat hipotesa bahwa; sesuatu yang mirip dengan konflik oedipal telah terjadi pada awal
sejarah ras manusia. Untuk menopang
hipotesanya dengan fakta-fakta yang mebuatnya menjadi masuk akal, hipotesanya
dianalisis dengan menggunakan system patriarkal dari Darwin dan mengambil analisis
totem dari Robertson Smith. Dengan menggunakan sistem patriarkal: Sang Bapak mempunyai semua
otoritas dan memonopoli kenikmatan. Sang Anak tidak memiliki apapun dan
tergantung kehendak baik Sang Bapak. Sang anak laki-laki, karena lelah untuk
tunduk pada otoritas Sang Bapak dan dicabut nikmatnya, membentuk suatu kelompok
untuk melawan Sang Bapak dan membunuhnya.
Pembunuhan menjadikan suatu peradaban tapi sekaligus meninggalkan suatu
tanda mendalam pada umat manusia. Trauma
pembunuhan menimbulkan jejak dalam bentuk suatu perasaan bersalah.
Pembunuhan
primal berlanjut menjadi suatu beban dalam kesadaran manusia. Pembunuhan ini menciptakan perasaan bersalah
dimana umat manusia tidak pernah berhasil membuangnya dan membimbing manusia
menciptakan agama---sebagaimana banyak srategi lain untuk membebaskan manusia
dari perasaan bersalah. Perasaan akan
kebebasan yang diharapkan, tidak pernah terjadi. Ketaksadaran kolektif, yang menampakan diri
dalam konteks ini lalu dialihkan dan agama menjadi cara untuk menetralkan suatu
perasaan bersalah. Agama adalah suatu
usaha untuk mengusir perasaan bersalah yang disebabkan oleh pembunuhan dan
untuk mewujudkan penyesalan karena tindakan itu.
Melalui
analisisi totem dari Robertson Smith,
menurut Freud; totem selalu merepresentasikan Sang Bapak; pemakan totem
merupakan suatu pesta merayakan kemenangan
Sang Anak laki-laki melawan Sang Bapak; Sang Anak laki-laki merayakan
pembunuhan atas Bapaknya melalui acara makan (totem) yang sama mereka
mengapropriasi kekuatan Sang Bapak untuk dari mereka sendiri. Segera setelah
Sang Bapak dibunuh, Sang Anak laki-laki
lalu mengorganisasi kehidupan bersama mereka dan untuk mecegah retrogesi
(kembali masa lalu) serta menjauh dari kekerasan, mereka lalu memantapkan
aturan bagi kehidupan social---khususnya larangan inses dan pembunuhan. Dari
sinilah awal dimulainya suatu peradaban (civilization).
Jika
semua bukti gabungan diatas dibuat hukumnya, maka hipotesis Kompleks Oedipus
(Oedipus Complex) ditetapkan bahwa; semua umat manusia mengalaminya---larangan
inses dan pembunuhan meyimpulkan
eksitensi dari suatu kompleks semacam itu. Larangan inses dan pembunuhan diidentifikasi dalam tiga situasi dimana Freud
ingin memperbandingkannya; tahap oedipal
(represi cinta terhadap Sang Ibu dan kebencian terhadap Sang Bapak), neurosis (suatu fiksasi pada tahap
oedipal dan suatu kristalisasi tahap ini dalam bentuk suatu kompleks) dan umat manusia primitif (yang menemukan
dalam dua macam larangan sebagai satu-satunya jalan menghindari konfrontansi
berdarah dan mendapat sirkulasi perempuan dan pertukaran perempuan di antara
anggota-anggota suatu klan). Penemuan
unsur-unsur yang sama dalam berbagai situasi menegaskan Freud bahwa Kompleks
Oedipus mempunyai kesamaan di antara ketiganya.
C. Analisis
antara Neurosis dan Agama
Agama
suatu bentuk prilaku yang sejalan dengan prilaku neurosis. Apakah agama itu kalau bukan suatu ketaatan seremonial
yang diatur secara ketat, suatu kepatuhan pada larangan, penerimaan pada ritual
yang dikodifikasi dari mana sebuah tingkah dan kesalahan di keluarkan dari
kodifikasi? Agama berkarakter “universal” sedang neurosis berkarakter “prifat” (private). Persamaa antara dua fenomena tersebut membawa
Freud membuat hipotesis; mereka mempunyai suatu kesamaan asal-usul, sedang perbedaannya
membawa dia untuk melihat akar neurosis dalam “Psike Individu” dan akar agama dalam “Psike Kolektif” yang dibentuk pada permulaan eksistensi ras dan
tetap berlangsung pada semua umat manusia.
Kedua fenomena secara dekat saling terhubungkan, tidak hanya pada
tingkat gejala-gejala tapi juga pada tingkat sebab-sebab. Freud
tidak ragu merubah terminologi dan
mendeskripsikan “neurosis obsesional sebagai suatu system religius privat dan agama
sebagai suatu neurosis observasional yang universal.” Masing-masing istilah
dapat saling mengantikan diantara keduanya tanpa mendistorsi realitas.
Satu-satunya
jalan untuk kembali pada kesamaan asal-usul ini (baca eksis) adalah melalui psike
itu sendiri---dalam situasi ini, sublimasi atau represi merupakan reaksi
terhadap konflik oedipal. Freud
menganggap bahwa Neurosis merupakan tanda dari suatu konflik. Neurosis suatu
bentuk kesalahan, suatu prilaku yang dikembangkan oleh ego karena menghindari bahaya. Ego
selalu mengartikan dirinya dalam suatu situasi membahayakan, sehingga ego harus tetap melalui jalannya sendiri
sambil menghindari dua jebakan---satu ditentukan oleh id (suatu bak penampungan insting) yang lain ditentukan oleh super-ego (tuntutan yang dipaksakan oleh
masyarakat). Ego selalu bimbang di antara insting seksual id (yang menuntut suatu pemuasan langsung yang maksimum) dan
perintah super-ego (yang merespresentasikan tuntutan realitas dan mempunyai
kekuatan hukum); merintangi, mencegah, melarang. Ego dapat dibandingkan dengan seorang
borjuis jujur yang menjadi korban kebetulan dari suatu konfrontasi antara
bangsat jahat (insting) dan polisi yang menyebalkan (aturan yang di keluarkan
oleh super-ego).
Terperangkap
dalam jalan di antara dua tuntutan yang saling berlawanan, ego
secara konstan menghasilkan kompromi---neurosis salah satu jenis komromi. Kompromi patologis yang di kembangkan ego demi mendapat kerugian dari insting
(dimana ego dengan mati-matian merespresi
insting). Kompromi lain adalah mungkin secara khusus
dalam penanaman energi psike dalam bentuk aktifitas tertentu yang secara sosial
dapat diterima: seni, sastra, pemujaan-diri (self-sacrifice). Dalam neurosis, energy psike suatu hastrat dipakai habis tapi dengan
kerugian yang sedikit. Energi digunakan dalam suatu perjuangan luar biasa
melawan hastrat itu sediri tanpa pernah ego
mencapai suatu keseimbangan yang memuaskan. Dalam agama, energy psike ini
secara bermanfaat dijalankan dalam suatu pengabdian dengan maksud yang dapat
diterima secara sosial. Dalam kasus ini kompromi dapat membawa pada suatu
keseimbangan yang meguntungkan bagi ego.
D. Penutup
Melalui
Kompleks Oedipus (Oedipus Complex), Freud mendapatkan akar kuno semua agama.
Pada dasar setiap agama---termasuk dasar setiap neurosis---dapat ditemukan
”inti-bapak” (father-nucleus). Bentuk agama-agama itu mungkin bervariasi
tapi semua tumbuh dari akar psikologis yang sama. Walaupun hipotesis Freud pada pembunuhan primal sebagai
sumber dari suatu agama dengan maksud membantu
umat manusia mengatasi hubungan yang sulit dengan Sang Bapak, namun dia
menekankan pada fungsi agama yang nyata yaitu; untuk menghibur orang-orang yang mengalami pengabdian hidup yang kasar.
”Hidup sebagaimana kita ketahui, terlalu keras bagi kita, hidup membawa kita
pada banyak penderitaan, kekecewaan dan tugas-tugas yang mustahil.” Menurut
Freud, orang-orang mengalami kekerasan dengan tiga cara; mereka merasa
dihancurkan oleh alam, terkutuk sampai mati dan terluka akibat hubungan dengan
orang lain. Agama kemudian berusaha mengatasi tiga kesalahan ini dan mengusir
takdir manusia yang keras; ”tuhan mempertahankan tiga macam tugasnya; mereka
harus mengusir teror dari alam, mereka harus mendamaikan manusia dengan
takdirnya yang keras, khususnya sebagaimana terlihat pada kasus kematian, dan
mereka harus memberikan kompensasi pada manusia karena penderitaan dan
kekurangannya yang telah dipaksakan pada manusia oleh keberadaban hidup secara
umum.”
Maka, apa agama itu? Ia merupakan suatu
ilusi, suatu harapan yang di ilhami, oleh suatu keinginan tertentu. Agar hidup dapat dijalani, hasrat yang
frustasi menciptakan suatu ilusi yang kita sebut agama---kepercayaan akan Tuhan
yang baik dan kepercayaan akan keabadian. Beberapa orang mencari perlindungan
dalam penderitaan, yang lain pada obat-obatan, sedang lainnya mencari hiburan.
Kebanyakan orang mencoba menetralisir kekerasan hidup dengan mencari
penghiburan melalui narkotik yang dikenal sebagai agama. Dengan mengarahkan
pengikut-pengikutnya menjadi suatu mania kelompok, agama menyiapkan mereka
untuk menjadi beban dari neurosis individu.
Umat manusia harus berusaha menjadi dewasa; pengiburan agama tidak lagi
pantas mendapat kepercayaan dari umat manusia. Manusia harus memasuki tahap
ilmiah dan mencoba menguasai dunia; apapun yang dipaksakan pada mereka, mereka
harus tabah. mereka harus menerima kematian demi satu hal, sebagai suatu nasib
yang tak terelakkan. Freud mengharapkan
suatu perkembangan semacam itu (tahap ilmiah) diantara orang terdidik. Ilmu
pengetahuan tidak menjanjikan dalam kantungnya; ia hanya punya satu tugas untuk
menentukan sesuatu di hadapan kita, “tapi suatu ilusi akan beranggapan bahwa apa yang tidak dapat kita peroleh dari ilmu
pengetahuan akan bias kita dapatkan di lain tempat”. Seperti dilihat Freud, ilusi agama sedikit demi sedikit kehilangan
pegangannya dalam pikiran umat manusia bersamaan berlalunya waktu.
Alcapone, 29 Juli 2015
Sumber;
Marcel Neusch dalam; 10 Filsuf Pemberontak tuhan, Panta Rhei
Books, Jogjakarta, 2004

Tidak ada komentar: