Martin
Heidegger---Mistik Keseharian ; Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit
“Jika badai
menimpa pondok itu dan salju turun, itulah saat yang tepat untuk berfilsafat.”(Martin Heidegger)
Kiranya aku
tahu benar mengapa hanya manusia satu-satunya mahluk yang tertawa; dia
satu-satunya yang menderita begitu dalam, hingga harus menemukan tawa (Friedrich Nietzsche)
“Kebenaran
adalah apa yang harus ditertawakan.” (Jean Baudrillard)
1. Avant Propos; Prawacana Memahami Sein und Zeit
Akulah imoralis pertama kata
Nietzsche; aku dengan demikian sang
penghancur par excellence. Didasar
ungkapanku imoralis melibatkan dua
penyangkalan; Pertama sebuah corak
manusia yang sampai sekarang dihitung sebagai
yang tertinggi—baik, dermawan, murah hati---aku sangkal kemudian sejenis moralis telah diterima dan mendominasi sebagai moralitas
dalam dirinya sendiri---moralitas dekaden. Kedua
dapat dipandang sebagai (pertentangan) yang menentukan, karena penilaian yang
berlebihan terhadap kebaikan dan kemurah-hatian secara garis besar telah
kuhitung sebagai sebuah konsekuensi dari dekadensi---sebuah gejala dari
kelemahan, sebagai sesuatu yang tidak cocok dengan kehidupan yang meningkat dan
afirmatif. Syarat bagi keberadaan orang
yang baik menurut Nietzsche adalah dusta---diekspresikan
secara berbeda, hasrat untuk tidak melihat isi realitas yang fundamental dengan
harga berapapun, yakni bukan untuk memanggil naluri-naluri kemurahan hati
sepanjang waktu, bahkan lebih sedikit lagi untuk mengizinkan campur tangan oleh
tangan-tangan bersifat baik yang hanya dapat melihat jarak dekat sepanjang
waktu.
Kondisi modern telah menanduskan
kehidupan yang ilahi. Akankah orang tidak lagi terbuka pada dasar-dasar
kenyataan dan kehidupan sehari-hari dan terus menjadi kerumunan nomad? Telah
hilangkah yang mistis? Tidak, begitulah jawaban Martin Heidegger. Manusia memikul nasib tertentu. Disatu sisi selalu mengalami kejatuhan, yakni larut dalam
keseharian dan karena itu terasing dari Ada-nya. Namun disisi lain manusia
adalah makhluk penanya Ada-nya sebuah
momen yang oleh Heidegger disebut kecemasan (Angst) sehingga, dasar-dasar keseharian kita menjadi transparan;
selubung yang memalsukan Sang Aku dikoyak.
Kecemasan menelanjangi manusia sebagai Ada yang terlempar dan menuju
kematian sekaligus memberi tawaran untuk bermukim dalam rumah eksistensi.
2. Riwayat Hidup dan Karyanya
Martin Heidegger lahir di kota Meskirch
26 September 1889, Rektor di Universitas Freiburg dan pemikir
terkemuka dalam sejarah filsafat Barat.
Pada 30 September 1909 Ia
memutuskan masuk novisiat Serikat Yesus di Tisis kemudian keluar dengan alasan
kesehatan lalu studi dibidang filsafat
dan teologi di kota Freiburg im Bresgau.
Pemikiran Heidegger Dibentuk oleh
sikap resmi gereja Katolik pra-konsili Vatikan II yang anti modernis. Setelah meninggalkan pendidikan imamat,
Heidegger mempelajari fenomenologi
Edmund Husserl (1859-1938) sebuah
disiplin baru dalam filsafat masa itu
dan menulis Sein und Zeit sebagai praktek
fenomenologi yang melihat fenomen yang biasa-biasa saja tetapi dengan cara yang
luar biasa melalui sudut pandang ontologis.
Heidegger promosi pada 1913 dengan
tema Die Lehre vom Urteil im
Psychologismus (Teori Putusan dalam Psikologisme) membahas pertentangan psikologisme
dan logisme. Kalau psikologisme menganggap 2x2=4 didasarkan proses psikis
karena perhitungan kita adalah 4 adapun logisme berpendapat bahwa 2x2=4 dan 4
tidak berasal dari perhitungan kita saja melainkan kenyataan di luar pikiran.
Pada 1959 ia studi untuk menjadi
professor dengan menulis
Habilitationsschrift (karya tulis untuk menjadi professor di Jerman)
bertema filsafat skolastik, Die
Kategorien-und Bedeutungslehre des Duns Scotus (Teori Dun Scotus tentang Kategori-kategori
dan Makna). Sebagai pemikir, menguasai
filsafat abad petengahan khususnya metafisika yang berkembang masa itu dan ide
Allah menjadi pusat pemikiran metafisis---Duns Scotus (1266-1308) termasuk
salah seorang filsuf besar zaman itu disamping Thomas Aquinas. Kesaksian Gadamer, Heidegger sangat ahli dalam filsafat Yunani Kuno.
Kuliah-kuliahnya tentang Aristoteles pada 1922 sewaktu bekerja di Marburg memudarkan kekuatan magis yang
menarik banyak pendengar dan dalam bidang ontologi sejak 1923 sudah dijuluki
sebagai filosofiekonig (raja
filsafat). Menghembuskan nafas
terakhirnya 26 Mei 1976 dan dikuburkan
di kota kelahirannya Messkirch.
3. Tentang Sein und
Zeit
Sein und Zeit—Ada dan Waktu—diterbitkan
oleh Max Nemeyer Tubingen sebagai edisi khusus majalah fenomenologi yang di
asuh Husserl dan Max Scheller dalam
Jurnal Tahunan Filsafat dan Penelitian Fenomenologis yang dipersembahkan Heidegger
sebagai penghormatan dan persahabatannya dengan Edmund Husserl. Terbit pertama kali 1927 ditulis berakar pada
konteks sejarah saat krisis politis dan historis yang parah
dalam masyarakat Eropa diantara dua perang dunia dan dalam suasana hati yang murung dan serba
tak pasti, kecemasan dan kematian menjadi benang merah yang menjelujuri seluruh isinya.
Filsafat sebagai pemikiran tentang
Ada---dikenal dengan nama metafisika atau ontology---tidak unik bagi Heidegger.
Tetapi yang baru pada Heidegger karena Ada
dipikirkan dalam pertautannya dengan waktu sekaligus menyelam kedalam keseharian yang banal
untuk meraih kedalaman makna Ada. Sein und Zeit---masterpiece Heidegger---buku kunci filsafat setelah politeia (Negara) Platon (sktr. 428-347
SM) dan Phaenomenologie des Geistes (Fenomenologi
Roh, 1807) G.W.F Hegel (1770-1831). Filsafat
bagi Heidegger adalah pemikiran tentang Ada dengan mistik keseharian menjadi
inti pemikiran yang diyakini akan meluruskan segala kesalahpahaman yang terjadi
akibat pemikiran yang terbatas pada
aspek-aspek realitas belaka. Tidak reduksionistis melainkan total dan radikal
menyalami Ada dan Tiada. Sein
und Zeit: menjernihkan keseharian, sehingga dasarnya menjadi tampak
dihadapan kesadaran. Sein un Zeit merupakan
pisau eksistensial untuk membedakan yang otentik dan inotentik, yang banal dan
yang radikal bertolak dari keseharian kita
untuk menghayati waktu dan kemewaktuan dengan lebih bening.
4. Membiarkan Ada
Terlihat
Segala yang terlihat oleh kesadaran disebut fenomen. Tetapi fenomen yang kita
lihat tidak selalu menampakkan diri apa
adanya bahkan sering sudah dimuati
anggapan-anggapan. Buku Sein und Zeit dengan pendekatan
fenomenologi---kata ‘fenomenologi’ berarti ilmu (logos) tentang hal-hal yang menampakkan diri (phainomenon) atau dalam bahasa Yunani phainesthai berarti ‘yang menampakkan diri’---ingin menyingkap fenomen
asli sebelum ditafsirkan oleh masyarakat atau kebudayan, yakni fenomen apa
adanya. Sebab itu fenomenologi adalah
suatu pendekatan deskriptif murni bukan normatif atau seperti istilah Maurice Natanson a
science of beginnings bahwa untuk bisa berfenomenologi orang harus
bersikap sebagai pemula (beginner). Pemula dalam hal apa? Dalam segala hal! Pemula dalam segala hal adalah suatu sikap
seolah-olah, melalui sikap ini memungkinkan kita melihat fenomen apa adanya.
Seolah-olah bagaimana? Seolah-olah fenomen itu untuk pertama kalinya dilihat.
Bagaimana itu mungkin? Matahari
diatas kita atau pohon di depan kita dalam keseharian sering kita andaikan
begitu saja. Sikap taken for granted oleh Husserl disebut naturliche
Einstellung (sikap alamiah) sebagai kepercayaan naif bahwa dunia luar itu
ada begitu saja. Fenomenologi anti terhadap sikap natural ini. Jika melihat
matahari seolah-olah baru pertama kalinya, kita tak akan percaya begitu saja
bahwa benda itu ada di atas sana, yakni di luar kesadaran kita. Kita akan terus
bertanya apakah matahari itu hasil rekaan pikiran kita saja atau memang ada di
luar pikiran.
Fenomenologi selalu bertanya , apakah semua pengalaman kita adalah
konstruksi kesadaran kita atau memang sudah ada di luar kesadaran, dan
bagaimana struktur penampakannya? Dengan kata lain, fenomenologi ingin
menjelaskan asal-usul sikap natural itu. Fenomen ekonomi misalnya, tidak pernah tampak apa adanya karena sudah
selalu ditafsirkan oleh para ahli, misalnya diteropong sebagai bentuk
sosialisme, liberalism, atau neo-liberalisme. Tetapi fenomen ekonomi itu pada dirinya?
Dia merupakan bagian iterkasi sosial, suatu fenomen pertukaran barang dan jasa.
Percakapan tentang neo-liberalisme atau kapitalisme hanyalah konstruksi
rasional yang memberi bentuk pada pengalaman naif sehari-hari. Bagi aktor,
ekonomi tak lain daripada pemenuhan kebutuhan lewat pertukaran. Bagaimana
ekonomi dihayati oleh para aktor dalam dunia-kehidupan inilah yang diminati
oleh fenomenologi ekonomi. Hal itu tidak berarti bahwa konstruksi-konstruksin
rasional, seperti neo-liberalisme atau kapitalisme global tidak dibahas.
Konstruksi-konstruksi itu tidak dimasukkan kedalam tanda kurung, yakni ditangguhkan
dulu, agar ekonomi tampak sebagai mana dihayati dalam dunia kehidupan para
aktor.
5. Mendekati Ada
sebagai Fenomen
Ada banyak ilmu tentang
kenyataan-kenyataan di bidang-bidang tertentu namun diantara berbagai cabang
ilmu tersebut kita belum menemukan ilmu
yang membahas ‘kenyataan itu sendiri’. Kita tahu bahwa meja, kolam, binatang
semuanya sebagai kenyataan-kenyataan, tetapi apakah ‘kenyataan itu sendiri’? Kita
harus memikirkan segala kenyataan khusus macam itu dalam satu paket, yaitu satu
ketegori, agar semuanya dapat dipikirkan sebagai satu objek pikiran. Apakah kategori yang mencakup semua kenyataan
itu? Itulah ‘Ada’. Semua kenyaataan itu dapat dikemas dalam satu kata yaitu
‘yang ada’ dan Ilmu yang membahas ‘yang ada’ (tetapi juga yang tiada) inilah
ontology.
Bagaimanan mendekati Ada sebagai
fenomen? Menurut Heidegger, kita harus membiarkan Ada “menampakkan diri pada
dirinya sendiri.” Artinya, kita tidak memaksakan penafsiran-penafsiran kita
begitu saja, melainkan membuka diri, yaitu membiarkan Ada terlihat (Sehenlassen). Sikap yang tepat terhadap Ada adalah membuka
diri, bukan sekedar menganalisis. Jadi, bayangkanlah bagaimana seorang
mendekati fenomen Ada. Ia pertama-tama akan heran, mengapa segala sesuatu Ada
dan tidak tiada. Keheranan itu umuncul dari sikapnya sebagai pemula dalam
meilhat Ada.
Mengapa Ada itu Ada? Satu bukti bahwa
kita ini penanya tentang Ada—baik karena bermenung ataupun tercenung. Namun menurut Heiddeger, penampakan Ada ternyata
tidak sederhana. Pertama,
sesuatu bisa menampakkan diri seolah-olah mirip sesuatu atau kemiripan saja (Scheinen). Misalnya anda mengira
melihat bapak anda datang, tapi ternyata orang itu bukan bapak anda, melainkan
orang lain yang sosoknya kebetulan serupa.
Kedua, sesuatu bisa juga menampakkan diri sedemikian rupa sehingga muncul
sebagai sesuatu yang lain, sementaran diri sejatinya tetap tersembunyi di balik
penampilannya (Erscheinung). Sebagai
contoh, demam adalah penampakan suatu penyakit, sementara penyakit itu sendiri
tidak menampakkan diri. Disini terjadi
“penyingkapan diri sesuatu yang tidak menampakkan diri”. Dalam arti terakhir
ini, Erscheinung memahami penampakkan
Ada. Tidak seluruh ada menampakkan diri, karena dalam penampakkannya Ada
menyembunyikan diri. “Apa yang dalam arti ini tetap tersembunyi atau kembali terselubung
atau hanya pura-pura menampakkan
diri,” bagi Heidegger, “bukanlah mengada ini atau itu, melainkan…Ada dari
mengada-mengada. [Ada] bisa terus terselubung sehingga dilupakan, dan
pernyataan tentangnya serta maknanya tak muncul”. Ada seolah bermain dengan
menyingkap dalam ketersembunyiannya dan bersembunyi dalam ketersingkapannya. Disinilah
Fenomenologi digunakan untuk mengakses
Ada, yakni dengan membiarkan Ada terlihat.
6. Membuat
Keseharian Tembus Pandang
Untuk memahami seluruh realitas,
Heidegger melakukan pembedaan ontologis (Ontologische
Differenz) yakni antara Sein
(Ada) dan Sainders (Mengada). Semut diatas meja ini, meja ini, ruangan ini,
gedung ini, perumahan ini, kota ini, pulau jawa, Negara Indonesia, bumi, tata
surya, galaksi dan alam semesta---perhatikan gerak cakupan yang makin
luas—semuanya adalah megada-mengada (bentuk plural: Seiende). Lalu
apakah Ada (Sein)? Jika kita mencakup segala entitas yang ada, apakah kita akan menemukan Ada? Menurut Heidegger
tidak. Ada bukanlah kumpulan atau jumlah Mengada-mengada. ‘Ada’ jelas bersifat
paling umum, tetapi bukan sekedar cakupan yang paling luas dari segala cakupan.
‘’Keumuman’ ada,’’ menurut Heidegger ‘’melampaui segala keumuman cakupan.’’ Ada
menopang Mengada-mengada dan memungkinkan Mengada-mengada ada. Ada bersifat transendental.
Kita terpaku pada Mengada-mengada dan
melupakan Ada yang di belakangnya (atau di bawahnya, di atasnya, di sampingnya?
Anda tentukan sendiri. Yang penting ada itu tak tampak, sehingga mudah
terlupakan).
Menurut Heidegger kita harus mulai
dari suatu Mengada yang menanyakan Ada. Tidak semua Mengada bisa menanyakan Ada-nya.
Orangutan, mobil, batu, atau buah durian, misalnya, tidak pernah mempersoalkan
Ada-nya. Apakah yang dimaksud dengan ‘menanyakan Ada’?
maksudnya tak lain adalah tidak sekedar menjalani hidup seperti orangutan atau
tergeletak saja di garasi seperti mobil, melainkan bergumul dengan dirinya
sendiri dan bertanya, mengapa dia ‘ada’.
Keseluruhan Mengada-mengada di luar manusia, “ada” begitu saja dan tidak
mengambil jarak terhadap Ada-nya maka dia tidak
pernah menanyakan ada-nya. Yang bisa melakukan itu hanya Dasein.
Apa itu Dasein? Kata Jerman berarti
“Ada-di-sana” dan dibedakan dengan kita ‘ada begitu saja’ atau faktisitas (faktizitat), ‘keterlemparan’
(Geworfenheit) . Yang membedakan Dasein
dari Mengada-mengada lain adalah bahwa dasein menyadari keterlemparan ini lalu
berupaya memahaminya sedang Mengada-mengada yang lain ‘ada begitu saja’, tetapi
tidak mempersoalkan fakta tentang ‘ada begitu saja’nya karena tidak mempunyai
akses ke Ada-nya. Dasein bisa menanyakan
Ada karena memiliki hubungan dengan Ada-nya--- hubungan dengan Ada-nya itu
disebut eksistensi
(Existenz)---yakni terbuka terhadap Ada-nya. Papan catur misalnya, tidak sadar akan
Ada-nya tetapi pecatur tentu sadar akan hal itu.
Kita ‘ada’ berarti kita juga sedang
‘mengada’, dan ‘mengada’ berarti dalam proses menjadi ‘Ada’, maka lebih tepat
mengatakan bahwa kita itu ‘mungkin ‘ada’, karena kita juga
‘mungkin-tiada’. ‘Ada’ Dasein adalah suatu
‘menjadi’ karena terus-menerus mengada
dan belum ada secara penuh. Dalam
arti inilah Heidegger lalu menyebut bahwa Dasein adalah kemungkinan itu sendiri
(Seinkonnen). Ada Dasein tak lain daripada sesuatu yang ia tentukan sendiri
yang oleh Heidegger disebut Jemeinigkeit---dari
kata je meines yang artinya ‘dalam
setiap hal yang khas memilikku’. Itulah ber-eksistensi sebagai fakta bahwa Dasein ada-di-sana, mewujudkan
kemungkinan-kemungkinannya, sehingga Dasein selalu melampaui dirinya. Kontak dengan Ada bersifat eksistensial (existenzial) sedang kontak dengan mengada-mengada lain bersifat eksistensiil
(existenziell). Sifat eksistensial
paralel dengan ontologis (ontologisch) sebab berkaitan dengan Ada Mengada
sedang sifat eksistensiil parallel dengan ontis (ontisch) yakni berkaitan
dengan Mengada.
Alcapone, Oktober 2017
Disampaikan dalam Dialog Akhir
Bulan Oktober 2017 di Teras Ubermensch.
Martin Heidegger---Mistik Keseharian ; Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit
Reviewed by Alfian
on
Oktober 24, 2017
Rating:

Tidak ada komentar: