BANGUN dan bangkitlah!
Robohkan fondasi istana kaum
kaya
Didihkan darah kaum tertindas
dengan api iman
Ajarlah burung gereja biar
berani melawan elang
Saat rakyat berdaulat sudah
dekat
Hapuskan sisa sisa hokum dan
kebiasaan masa lalu
Buanglah bulir gandum di
tegalan
Yang gagal memberi kehudupan
kaum tani
Kemudian arahkan pandang
kepada para pendeta
Dan singkirkan mereka dari
gereja
Sebab mereka berdiri bagaikan
tirai besi yang memisahkan
Tuhan dan manusia
Padamkan lampu di semua
kelenteng dan mesjid
Karena mereka mencoba menipu
Tuhan dan berhala berhala
Dengan sujud dan bicara tanpa
makna
Aku muak dengan kemegahan
palsu kelenteng pualam
Bangunkah daku kelenteng dari
tanah
(Sir
Muhammad Iqbal)
A. Riwayat Hidup Immanuel Kant (1724-1804)
Immanuel
Kant hidup
saat pencerahan mencapai puncak di Jerman.
Pribadinya sangat tertib dan membujang seumur hidup. Tinggal bersahaja di
kota Koenigsberg di Prusia Timur dalam sebuah keluarga yang sangat di
pengaruhi oleh pietisme. Filsafatnya merupakan sintesis kritis atas dua
kecenderungan pokok yang sudah ada sebelum pencerahan; rasionalisme dan
empirisme---proses penalaran sekaligus proses observasi dalam fisika---sebagai
sebuah sistem pengetahuan baru yang teruji, bukan karena sesuai dengan kenyataan dan memenuhi
asas penalaran tetapi berdaya guna bagi kesejahteraan manusia. Melalui sintesis ini, Kant menghasilkan
sebuah cara berfilsafat yang baru yang menjadi pijakan sejarah selanjutnya. Semangat jaman sedikit banyak tercermin dalam
filsafat Kant. Semangat intelektual
Jerman saat itu menilai ; orang yang beradab sebagai seorang yang berpendidikan
tinggi, bebas dari prasangka-prasangka sempit, mendukung kemajuan seni dan ilmu
pengetahuan, menghayati hidup tertib dan harmonis. Bahkan para cendekiawan
Jerman sangat berambisi menyumbangkan
sebuah sistem pemikiran yang merupakan sintesis universalitis atas berbagai
kecenderungan yang bertentangan di abad-abad sebelumnya yang dinilai picik.
Sewaktu studi di Koenigsberg, Kant
mempelajari hampir semua mata kuliah dan
mendapat pengaruh rasionalisme Wolf melalui dosennya Martin Knutzen. Kant mempelajari fisika Newton serta sistem-sistem
metafisika dan logika. Masa kerja
sebagai Privaddozen (dosen lepas)
antara tahun 1755-1770 sebagai “periode
pra-kritisnya”-nya menjadikan Kant seorang dosen yang sangat luar biasa dalam
penguasaannya atas hampir semua ilmu. Periode saat Kant mengembangkan sistemnya
sendiri---dalam Krtitik der reinen
Vernunt (Kritik atas rasio Murni)---disebut “periode kritis” berlangsung
setelah tahun tujuh puluan. Pada tanggal 12 Februari 1804, Kant meninggal dunia
dalam usia delapan puluh tahun.
B. Proyek Filosofis Kant
Pemikran Kant di periode kritis
bermaksud menjawab tiga pertanyaan dasar; (1) Apa yang dapat saya ketahui? (2)
Apa yang seharusnya saya lakukan? dan (3) Apa yang bisa saya harapkan?
Pertanyaan pertama di jawab dalam Kriitik
der reinen Vernunt, yang kedua dalam kritik
der praktischen Vernunt, dan yang ketiga dalam Kritik der Urteilkraf. Melalui karya-katya tersebut Kant ‘memeriksa kesahihan‘ secara kritis, tidak
terutama dengan pengujian empirik, melainkan dengan asas-asas apriori dalam
diri subjek. Karena itu filsafatnya disebut ‘transendentalisme’ sebab dia mau menemukan asas-asas apriori dalam
rasio kita yang berkaitan dengan objek-objek dunia luar---apa yang di sebutnya die Bedingung der Moeglichkeit
(syarat-syarat kemungkinan) dari pengetahuan kita. Sebuah penelitian menurut
Kant di sebut “transendental” kalau memusatkan diri pada kondisi-kondisi murni
dalam diri subjek pengetahuan. Kant membuat sintesis antara empirisme yang
mementingkan pengetahuan a posteriori
dengan rasionalisme yang mementingkan pengetahuan a priori sehingga filsafat Kant dijelaskan
sebagai hasil sintesis antara unsur-unsur
a priori dan a
posteriori.
Filsafat Kant disebut ‘kritisisme’
dipertentangkan dengan ‘dogmatisme’. Kalau dogmatisme
menerima begitu saja kemampuan rasio tanpa menguji batas-batasnya maka
kritisisme menyelidiki kemampuan dan
batas-batas rasio sebelum memulai penyelidikannya. Kant mengatakan bahwa kritisisme adalah
filsafat yang lebih dahulu menyelidiki kemampuan die Bedingung der Moeglichkeit (syarat-syarat kemungkinan)
pengetahuan kita—filsuf sebelum Kant disebut filsuf dogmatis yang
bermetafisika tanpa menguji kesahihan metafisika. Kata “Kritik” oleh Kant dipahami
sebagai “pengadilan tentang kesahihan pengetahuan” atau “ pengujian kesahihan”—gambaran
proses pengadilan diandaikan karena dalam proses itu klaim-klaim pengetahuan
seolah-olah diperiksa sebagai terdakwa. Cara berfisafat semacam itu disebut
‘proseduralisme’: alih-alih memusatkan diri pada isi pengetahuan, Kant lebih
meminati proses atau cara memperoleh pengetahuan.
C.Kritik atas Rasio Murni

1. Estetika Transendental: Pengtahuan pada Taraf
Indra
Kant menerima pandangan para filsuf
empiris Inggris bahwa pengetahuan berhubungan dengan pengalaman indrawi tetapi
menurut Kant tidak seluruh pengetahuan berasal dari pengalaman. Bagaimana kita
berhubungan dengan objek pengetahuan di luar diri kita? Jawab Kant dalam
‘estetika trasendental’ adalah lewat istitusi langsung---tetapi Kant
menambahkan bahwa institusi kita mengandaikan bahwa kita di pengaruhi objek
dengan cara tertentu. Kemampuan subjek untuk menerima representasi (Vorstelung) objek disebutnya “sensibilitas” atau “kemampuan
mengindrai” (Sinnlichkeit). Jadi,
institusi manusia adalah ‘institusi indrawi’. Efek sebuah objek pada kemampuan
repsentasi atau pikiran (Gemuet)
sejauh dipengaruhinya disebut ‘pengindraan’ (Empfindung).
Objek pengindran disebutnya ‘penampakan’
(Erscheinung).
Kant menolak anggapan empirisme
bahwa pengindraan bersifat murni a
posteriori. Menurutnya, ada dua unsur dalam penampakan objek, yaitu unsur
materi (materia) dan unsur bentuk (forma). Unsur materi adalah sesuatu yang
berhubungan dengan (isi) pengindraan
sedang forma adalah sesuatu yang memungkinkan berbagai penampakan itu tersusun
dalam hubungan-hubungan tertentu. Jadi,
forma merupakan unsur a priori dari
pengindraan sedang materi merupakan unsur a
posteriori. Kant mengatakan
ada dua forma murni pengindraan, yakni ruang dan waktu.
Kant
mengatakan ‘penampakan objek’ bukanlah ‘objek’. Objek di luar kita itu,
menurutnya, tidak kita ketahui---istilah Kant, “das Ding an sich” (benda pada dirinya) tidak kita ketahui. Yang
kita tangkap sebagai penampakan itu sudah merupakan sintesis antara efek objek
pada subjek dan unsur a priori, yakni forma ruang dan waktu yang sudah ada pada
subjek. Lalu Kant membedakan antara ‘pengindraan
eksternal’ yakni persepsi atas objek dari luar diri kita, dan ‘pengindraan internal’ yakni persepsi
atas keadaan eksternal kita. Forma ruang
adalah bentuk penampakan dari pengindraan internal, sedang forma waktu adalah
pengindraan internal itu. Dengan mengatakan bahwa ruang dan waktu bersifat a
priori, Kant tidak memaksudkan bahwa keduanya tidak riil. Menurut Kant, memang “das Ding an sich” tidak kita ketahui,
tetapi kenyataan empiris selalu sudah merupakan sintesis antara unsur a priori
dan a posteriori. Jadi, kenyataan yang tampak itu tidak hanya kelihatannya
berada dalam ruang dan waktu, melainkan sungguh berada dalam ruang dan waktu.
Keduanya menjadi “syarat kemungkinan” penampakan objek empiris. Kant mengatakan
bahwa ruang dan waktu itu secara empiris riil, tetapi secara transendental ideal.
Secara empiris riil karena ruang dan waktu bukan ilusi, melainkan sesuatu yang
nyata secara indrawi. Secara transendental ideal, karena ruang dan waktu bisa
diterapkan pada penampakan, tidak pada “das
Ding an sich”, jadi lebih ditentukan oleh struktur subjek.
2. logika transcendental
Tentang asas akal budi---logika; dimaksudkan
bukan logika formal yang mengabstraksi
objek-objek sampai lepas dari isi empirisnya---melainkan “logika transendental”
yang meskipun sama a priorinya namun tetap menjaga kaitannya dengan objek
empiris. Dengan kata lain, logika transendental memusatkan diri pada asas-asas
a priori (pikiran kita) atas objek sejauh menentukan pemahaman kita, dan bukan pada
asas-asas a priori yang lepas dari objek. Logika transendental merupakan forma a priori
dalam akal-budi. Kant mengatakan bahwa
kegiatan intelek tampil dalam putusan. Intelek itu sendiri tidak lain adalah
kemampuan untuk membuat putusan (Urteilbildung).
Berpikir adalah membuat putusan. Dalam
putusan terjadi sintesis antara data-indrawi dan unsur a priori akal budi.
Unsur-unsur a priori akal budi itu disebut Kant “kategori-kategori”. Tanpa sintesis itu, kita bisa mengindrai
penampakan tetapi tidak mengetahuinya. Dengan kata lain, kategori-kategori
merupakan syarat a priori pengetahuan---dengan ‘revolusi kopernikan’ Kant
memandang bahwa agar objek diketahui, objek itu harus menyesuaikan diri dengan
kategori-kategori itu, dan bukan sebaliknya.
a. Analitika
Transendental: Pengetahuan
pada Taraf Intelek; menurut Kant,
dalam diri subjek terdapat dua kemampuan, yakni untuk menerima data-indrawi dan
untuk membentuk konsep. Kemampuan mengindrai sudah disebut sebagai ‘sensibilitas’. Lalu kant menyebut
kemampuan untuk mengasilkan konsep sebagai pemahaman, atau dengan istilah Kant “Verstand” (diterjemahkan ‘intelek’).
Hubungan kedua kemampuan ini sangat erat. Tanpa sensibilitas objek tidak dapat
masuk dalam subjek, dan tanpa akal objek tidak dapat dipikirkan---Disinilah
Kant mendamaikan empirisme dan rasionalisme, sementara rasionalisme memutlakkan
rasio dan empirisme memutlakkan sensibilitas, Kant memperlihatkan, bagaiman
pengetahuan merupakan sintesis keduanya.
b. Dialektika
Transendental: Pengetahuan
pada Taraf Rasio; dalam ‘dialektika
transendental’, Kant membedakan rasio
(Vernunft) dari akal-budi
(Verstand). Istilah “Vernunft” mengacu
pada kemampuan lain yang lebih tinggi dari pada intelek. Rasio menghasilkan ide-ide transendental yang
tidak bisa memperluas pengetahuan kita tetapi memiliki fungsi mengatur
(regulatif) putusan-putusan kita ke dalam sebuah argumentasi. Sementara intelek
langsung berkaitan dengan penampakan, rasio berkaitan secara tidak langsung
dengan mediasi intelek. Rasio menerima konsep-konsep dan putusan-putusan
akal-budi untuk menemukan kesatuan dalam terang asas yang lebih tinggi.
Misalnya, putusan “semua binatang itu bisa mati”, dan “manusia itu binatang”,
lalu kesimpulannya “manusia itu bisa mati”. Putusan ketiga yang merupakan
kesimpulan silogisme itu dihasilkan dari dua putusan lain dan merupakan
kesatuan dari keduanya. Putusan ketiga itu tidak langsung berdasarkan
penampakan. Dalam hal ini rasio mengusahakan kesatuan itu, dan bahkan menurut
Kant, aturan (maksim) logis rasio adalah terus mengusahakan kesatuan yang makin
besar, makin menuju keadaan akhir yang tidak dikondisikan atau murni.
Kant menyebutkan adanya tiga tipe
kesimpulan silogistis yang mungkin, yaitu: kesimpulan kategoris, hipotesis, dan
disjungtif. Ketiganya berkaitan dengan tiga kategori akal-budi yang diterangkan
di atas, yaitu: substansi, kausalitas, dan komunitas atau resiprositas. Ketiga
kesimpulan itu juga berkaitan dengan
tiga macam kesatauan tanpa syarat yang merupakan postulat (dalil) dari rasio.
Ketiga macam kesatuan akhir iu menjadi asumsi terakhir yang mtlak, maka hanya
dipostulatkan (tanpa syarat). Ketiganya disebut “idea-ide rasio murni”. Idea
pertama menjamin kesatuan akhir dalam pengalaman subjek (kesadaran atau cogito)
dalam hubungannya dengan dirinya sendiri dan disebut “ide jiwa”. Idea kedua menjamin kesatuan akhir dalam
hubungan-hubungan kausal dalam penampakan objek dan disebut “Idea Dunia”. Idea ketiga menjamin
kesatuan akhir dari segala sesuatu yang dapat dipikirkan entah yang tampak atau
tidak dan disebut “Idea Allah”.
D. Kritik atas Rasio Praktis
Rasio yang dijelaskan di atas
disebut “rasio murni” atau rasio teoritis. Rasio ini menghasilkan ilmu
pengetahuan. Dalam kritik der praktichen
Vernunft, Kant berusaha menemukan bagaimana pengetahuan moral itu terjadi.
Pengetahuan moral, misalnya dalam putusan “orang harus jujur”, tidak menyangkut
kenyataan yang ada (das Sein), melainkan
kenyataan yang seharusnya ada (das
Sollen). Pengetahuan macam ini bersifat a priori, sebab tidak menyangkut
tindakan empiris, melainkan asas-asas tindakan itu dihasilkan oleh “rasio
praktis” kita. Sebagai ‘rasio dalam keguanaan praktisnya’. Seperti juga rasio
murni, dia mengacu pada rasio praktis pada dirinya, bukan rasio praktis orang
tertentu. Tentu saja rasio pada akhirnya satu saja, tetapi ada dua cara rasio
mendekati objeknya. Sementara rasio murni menetapkan objek lewat kognisi, rasio
praktis membuat objek (tindakan) menjadi nyata lewat penentuan kehendak. Dengan
berusaha menemukan asas-asas itu, Kant memisahkan etika dari teologi. Baginya,
etika tidak tergantung pada teologi, melainkan pada kesadarn subjek rasional.
E. Kewajiban sebagai Dasar Moralitas
Dalam Grundlegung, Kant merumuskan bahwa tidak ada hal lain yang baik
secara mutlak kecuali “kehendak baik” (guter
Wille) sebagai kehendak yang baik pada dirinya (an sich), tidak tergantung pada yang lain. Kehendak baik adalah
sesuatu yang baik pada dirinya, tanpa pamrih, tanpa syarat. Kant membedakan
antara “tindakan yang sesuai dengan kewajiban” dan “tindakan yang dilakukan
demi kewajiban”. Yang pertama ini, baginya, tidak berharga secara moral dan
disebut “legalitas” (legalitaet),
sedang yang kedua bernilai moral dan disebut moralitas (moralitaet). Sebuah tindakan moral yang luhur adalah tindakan yang
dilakukan demi kewajiban an sich. Pandangan
Kant kerap disebut ”rigorisme moral” (rigor=keras, kaku, ketat), karena dia
menolak dorongan hati (belas kasih, setia kawan, dan seterusnya) sebagai
tindakan moral.
Kant lalu menghubungkan kewajiban
dengan hukum hukum dimengerti sebagai hukum an
sich, dengan sifatnya yang universal dan tidak mengizinkan kekecualian.
Bertindak demi kewajiban adalah bertindak dengan mengacu pada hukum itu. Nilai
moral (baik buruknya tindakan), menurut Kant, tidak
terletak pada hasil tindakan, melainkan pada sesuatu dalam kesadaran subjek
moral yang disebutnya “maksimum”. Maksim dibedakan dari asas-asas
(prinsip-prinsip). Sementara asas-asas terstruktur secara objektif dalam rasio
praktis setiap makhluk rasional (asas-asas objektif moralitas), maksim
merupakan kehendak (Wille) subjektif
yang juga asasi (asas-asas subjektif kehendak). Ada dua macam maksim, yaitu
maksim empiris atau material dan maksim a priori atau formal. Yang bernilai
moral adalah maksim a a priori itu. Maksim ini mematuhi hukum universal an sich
dan tidak mengacu pada hasrat-hasrat indrawi, sedangkan maksim empiris mengacu
pada efek-efek tindakan.
F. Imperatif Kategoris
Menurut Kant, asas moralitas (asas rasio praktis) seharusnya sesuai dengan asas kehendak (maksim)---terjadi kalau
manusia itu subjek moral rasional murni. Dalam kenyataan, sering ada
kesenjangan atau ketidak sesuaian antara maksim dan asas moralitas, antara
kehendak subjektif dan asas moral objektif. Dalam kasus ini, asas objektif
disadari sebagai perintah dan kewajiban. Kalau keduanya sesuai (ini menurut
Kant terjadi apada diri Allah), tidak ada perintah ataupun kewajiban. Kant
membedakan ‘perintah’ dan ‘imperatif’---Perintah adalah asas objektif sejauh
mengharuskan kehendak subjektif, sedang imperatif adalah bentuk putusan dari
perintah, dirumuskan dengan ‘seharunya’ (sollen).
Dalam Grundlegung, Kant membedakan
dua macam imperatif. Yang pertama disebut ‘imperatif hipotesis’. Dengan ini dimaksudkan bahwa
asas-asas tertentu yang bersifat objektif akan dilakukan dengan syarat
tertentu, yaitu kalau tujuan pelaku tercapai dengan melaksanakan asas-asas itu.
Rumusnya: “jika menginginkan X, anda harus melakukan Y”. misalnya, putusan
“jika mau belajar filsafat, anda harus membaca buku F.” Di sini orang bisa mau
atau tidak belajar filsafat, sehingga tidak harus membaca buku F karena masih
terbuka kemungkinan tidak melaksanakannya, imperatif ini juga disebut “imperatif hipotetis problematis”. Imperatif ini bukan imperatif moral. Kant juga
menyebutk imperatif hipotetis jenis lain. Misalnya, putusan ”kalau mau bahagia,
anda harus melakukan tindakan T.” Di sini orang mau bahagia dan tidak mau
menolaknya, sehingga harus melakukan T. imperatif ini juga hipotetis, yaitu
tindakan tertentu diperintahkan sebagai sarana untuk tujuan tertentu (bahagia),
namun berbeda dari yang sebelumnya, syarat itu (kalu mau bahagia) ditegaskan (assert), maka disebut “imperatif hipotesis asertorik”. Imperatif
ini-pun bukan imperatif moral.
Menurut Kant, imperatif moral
terdapat dalam bentuk kedua yang disebut
“imperatif
kategoris”. Imperatif ini memerintahkan sesuatu bukan untuk mencapai
tujuan tertentu, melainkan karena perintah itu baik pada dirinya. Imperatif ini
bersifat a priori. Kant menemukan imperatif kategoris sebagai berikut:
misalnya, dalam kasus keinginan berderma kepada tetangga yang tidak dipedulikan orang lain,
kita bertanya apakah kehendak (maksim) untuk berderma itu bisa dijadikan hukum
universal atau tidak. Kalau bisa, maksim kita itu di benarkan secara moral.
Imperatif kategoris ini merupakan perintah rasio praktis kita yang harus
dilaksanakan tanpan syarat, bersifat apodiktis (apodiktisch): harus dilaksanakan secara mutlak perlu. Kehendak
subjektif untuk melaksanakan imperatif kategoris inilah maksim a priori.
Alcapone, 23 0ctober 2017
Sintesis Rasionalisme dan Empirisme Kritisisme Immanuel Kant
Reviewed by Alfian
on
Oktober 23, 2017
Rating:

Tidak ada komentar: