Manusia
adalah misteri, Ia perlu dipecahkan, dan jika itu kau lakukan sepanjang hayat,
jangan katakan bahwa kau kehilangan waktu, aku menekuni misteri itu, karena
ingin menjadi manusia.—F.M. Dostoevsky
1. Riwayat Hidup dan Karyanya
Platon hidup di Athena, Yunani 428/427-347/346 SM zaman Kekaisaran
Romawi. Orang Italia mengikuti suara Yunani menulis dengan tambahan ‘’e” menjadi Platone, Jerman mengikuti orang
Yunani menulis Platon, orang Prancis
menyebut Platon (seperti Yunani meski bunyi suaranya berakhir ‘’ong”), orang
Spanyol membahasakan dengan tekanan ‘’o’’ menjadi Platon. Orang Inggris
menyebut Plato (disuarakan menjadi Pleto), Indonesia menulis Plato---mengikuti
cara orang Belanda dengan penulisan Latin Plato. Platon nama aslinya Aristokles berasal dari
Athena dari keluarga aristokrat dan kaya.
Ayahnya bernama Ariston keturunan raja terakhir Athena. Platon sendiri nama julukan (dari platos artinya ‘’ke-lebar-an’’ atau dari platus artinya ‘’lebar, datar’’). Saat Platon lahir, Athena
merupakan polis (negara-kota) dengan
sistem demokrasi paling berkuasa---kekuatan
militer dan maritim nomor satu, kultur intelektual dan artistiknya jauh
mengatasi polis-polis lain di Yunani. Tahun
431 SM pecah perang Peloponnesos antara polis
Athena ‘’rejim demokrasi’’ melawan polis
Sparta “rejim oligarkis’’ sampai Sparta
menguasai Athena tahun 404 SM dan menempatkan rejim boneka dengan nama ‘’Tiran
30 Orang’’.
Platon tidak pernah melupakan bahwa restorasi rejim demokrasi di
Athena yang menghukum mati Sokrates (399 SM)---guru kebijaksanaan yang ia ikuti
sejak berusia 20-an---karena di tuduh ‘’memasukan dewa-dewi baru dan merusak
generasi muda Athena’’ atau (mungkin) dianggap memiliki relasi politik dengan mereka
yang terlibat dalam rejim oligaris ciptaan Sparta. Penghukuman mati Sokrates membuat Platon
mengambil keputusan radikal dengan mengabdikan hidupnya kepada filsafat. Dalam surat VII 326a Platon Menulis: ‘’Akhirnya
aku mengerti bahwa semua negara yang ada diperintah secara salah karena tanpa
persiapan yang cukup dan undang-undang mereka sulit di ubah. Tanpa bisa
kutolak, akhirnya aku terpanggil untuk mengabdi kepada filsafat yang benar’’. Sokrates menjadi inkarnasi ‘’ideal pencinta
kebijaksanaan (filsuf)’’. Baik Platon maupun penulis lainnya menggambarkan
Sokrates sebagai sang pemberi inspirasi dan menjadi simbol untuk
idealisme. Platon bukan satu-satunya
yang menganggap Sokrates sebagai guru utama yang ide-idenya harus di
pertahankan dan dilanggengkan. Kaum Sinis (yang sangat asketis), kaum sirenaik
(yang membela pemikiran hedonis), kaum Stoisian dan kaum Skeptis semuanya
merujuk kepada Sokrates untuk membenarkan pendapat-pendapat yang mereka
kembangkan sendiri.
Tahun 387 SM, setelah perjalanannya
ke Sisilia, ia mendirikan Akademeia---sembilan abad Akademia hidup dan
terus mengembangkan Platonisme sampai
tahun 529 M ditutup oleh perintah Justianus Kaisar Romawi. Platon tidak
membatasi perhatiannya hanya pada persoalan etis saja—seperti dilakukan Sokrates—ia juga mencurahkan
minatnya kepada suatu lapangan yang mecakup seluruh ilmu pengetahuan. Mata
pelajaran yang menjadi perhatian terutama matematika atau ilmu pasti dan ilmu
lain yang di praktekkan di Yunani di bawah nama ”Filsafat”. Platon mengepalai
Akademia sampai kematiannya tahun 348/7—empat
puluh tahun Platon mengepalai Akademia di Athena. Pada saat meninggal, karangan Platon Nomoi belum selesai dan seorang murid
mempersiapkan manuskrip defenitif supaya dapat beredar---Sebab itu Cicero
mengatakan “Platon Scriben Est Mortuus”
(Platon meninggal sedang menulis).
Dengan menggunakan data yang ada
kita dapat membagi dialog-dialog Platon atas tiga periode.
a. Apologia, Criton, Eutyphron, Lakhes, Kharmides,
Lysis, Hippias Minor, Menon, Gorgias, Protagoras, Euthydemos, Kratylos,
Phaidon, Symposion. (Beberapa
ahli berpendapat bahwa salah satu dari dialog-dialog ini sudah ditulis sebelum
kematian Sokrates, tetapi kebanyakan berpikir bahwa dialog pertama ditulis
tidak lama sesudah kematian Sokrates).
b. Politeia, Phaidros, Parmenides, Theaitetos (Theaitetos
dan Parmenides ditulis sebelum perjalanan kedua ke Sisilia tahun 367 SM).
c. Sophistes, Politikos, Philebos, Timaios,
Kritias, Nomoi
(Dialog-dialog ini ditulis sesudah perjalanan ketiga ke Sisilia, ketika
urusannya dengan berbagai kesulitan politik di Sisilia sudah selesai).
2.
Filsafat Platon
Platon sejak
muda hidup dalam lingkungan yang berhubungn erat dengan politik Athena,
perhatiannya sebagai filsuf terutama pada negara tentang bagaimana seharusnya
susunan negara yang ideal? Pertanyaan tersebut dijawab dalam dialog Politeia—oleh banyak ahli sejarah
filsafat dianggap sebagai karya sentral seluruh pemikiran Platon—sedang dialog panjang Nomoi—karya
terakhir Platon baru diedarkan sesudah meninggal—membicarakan juga soal negara.
Keyakinan Platon bahwa filsuf harus dijadikan penguasa negara sebagai refleksi Platon atas kematian Sokrates.
a. Ajaran tentang Ide-ide
Ajaran
tentang ide-ide merupakan inti dan dasar seluruh filsafat Platon. Kalau Sokrates
berusaha menentukan hakikat atau esensi keadilan dan keutamaan-keutamaan lain
maka Platon melangkah lebih jauh bahwa esensi mempunyai realitas terlepas dari
segala perbuatan konkret. Menurut Platon realitas terdiri dari “dua dunia”; Pertama,
mencakup benda-benda jasmani yang ditangkap oleh panca indra ditandai; tetap berada dalam perubahan,
pluralitas dan ketidaksempurnaan. Kedua, dunia ideal atau dunia atas ide-ide dan sama sekali tidak ada
perubahan—bersifat abadi dan tidak terubahkan dan tiap-tiap ide bersifat sama
sekali sempurna. Anggapan tentang “dua dunia” membawa pendiriannya atas dua
jenis pengenalan. Pertama, pengenalan tentang ide-ide sebagai pengenalan dalam
arti yang sebenarnya yaitu Episteme (pengetahuan,
knowledge) mempunyai sifat-sifat yang sama seperti objek-objek yang ditujui
olehnya; teguh, jelas, dan tidak berubah. Disini rasio menjadi alat untuk
mencapai pengenalan sedang ilmu pengetahuan menjadi lapangan istimewa dimana
pengenalan dipraktekkan. Dengan
pengenalan yang sifatnya teguh, jelas dan tidak berubah, Platon kemudian menolak
relativisme kaum sofis. Bagi Protagoras dan pengikut-pengikutnya, manusia
adalah ukuran dalam bidang pengenalan sedang bagi Platon ukuran itu ialah ide-ide. Berdasarkan ide-ide tersebut, menjadi memungkin
kebenaran yang mutlak. Kedua, pengenalan tentang
benda-benda jasmani—dicapai dengan panca indra dengan sifat-sifat yang sama
seperti objeknya; tidak tetap, selalu berubah. Dibanding pengenalan episteme,
pengenalan jenis kedua tidak bernilai banyak karena tidak menghasilkan
kepastian dan Platon menamakan doxa
(pendapat, opinion).
Melalui ide tentang
“dua dunia” dan pendiriannya tentang pengenalan, Platon berhasil memecahkan persoalan
besar dalam filsafat pra-Sokratik—mendamaikan ajaran Herakleitos dengan ajaran
Parmeneides. Menurut Herakleitos semuanya senantiasa dalam keadaan perubahan;
tidak ada sesuatupun yang tetap atau mantap bahkan Kratylos mengatakan bahwa pengenalan tidak mungkin
karena perubahan yang tiada henti dan tidak dapat diberikan nama kepada
benda-benda. Menurut Platon, pendapat Herakleitos dan Kratylos memang benar
tetapi hanya berlaku bagi dunia indrawi saja karena semua berada dalam
perubahan sehingga pengenalan sejati tidak
mungkin. Pendapat Parmeneides juga benar tetapi hanya berlaku bagi ide-ide.
Dalam dunia ideal ini tidak ada perubahan, karena ide-ide bersifat abadi dan
fundamen bagi pengenalan yang sejati.
Teori
mengenai ide-idenya dilukiskan dalam mitos
tentang penunggu-penunggu gua dalam dialog Politeia.
Manusia dapat dibandingkan—demikian katanya—dengan orang-orang tahanan yang
sejak lahir terbelenggu dalam gua; mukanya tidak dapat bergerak dan selalu
terarah ke dinding gua. Dibelakang mereka ada api menyala dan beberapa orang
budak belian mondar mandir didepan api sambil memikul bermacam-macam benda. Hal
itu mengakibatkan rupa-rupa bayangan yang dipantulkan didinding gua. Orang-orang
tahanan lalu menyangka bayangan itu
merupakan realitas sebenarnya dan tidak
ada realitas lain. Namun sesudah beberapa waktu satu orang tahanan dilepaskan.
Ia melihat dibelakang gua api yang ada disitu. Ia mulai memperkirakan bahwa bayangan-bayangan
bukan realitas yang sebenarnya. Lalu ia keluar gua dan melihat matahari yang
menyilaukan matanya. Mula-mula ia
berpikir bahwa ia sudah meningggalkan realitas tetapi berangsur-angsur ia
menyadari bahwa itulah realitas yang sebenarnya dan bahwa dahulu ia belum
pernah memandangnya. Akhirnya, ia
kembali ke dalam gua dan bercerita kepada teman-temannya bahwa apa yang mereka
lihat bukan realitas yang sebenarnya melainkan hanya bayangan. Namun mereka tidak percaya dan seandainya
mereka tidak terbelenggu, mereka pasti akan membunuh tiap orang yang mau
melepaskan mereka dari gua.
b. Ajaran tentang Jiwa
Manusia sebagai
mahluk terpenting diatas segala mahluk di dunia dan jiwa sebagai pusat atau
intisari kepribadian. Platon kemudian menciptakan ajaran tentang jiwa yang
berhubungan erat dengan pendiriannya mengenai ide-ide. Platon berkeyakinan bahwa
jiwa manusia bersifat baka—argumen pentingnya ialah kesamaan yang terdapat antara
jiwa dan ide-ide—menuruti prinsip filsafat Yunani sejak Empedokles yakni “yang sama mengenal yang sama”. Jiwalah yang
mengenal ide-ide bukan badan dan atas dasar prinsip tesebut jiwa mempunyai
sifat-sifat yang sama seperti terdapat pada ide-ide. Ide bersifat abadi dan
tidak berubah sehingga jiwa—bertentangan dengan badan—tidak berubah dan tidak
akan mati.
Apa itu jiwa? Menurut Platon jiwa bukan sebuah “apa”, bukan
”sesuatu”. Kata Yunani physis diterjemahkan sebagai nature (bahasa Inggris dan Prancis) atau
kodrat. Physis sebagai kodrat
dipahami seperti; biji mangga adalah kodrat pohon mangga. Pada biji mangga ada
prinsip perkembangan. Di satu sisi seluruh kode genetis sudah tercetak, namun sisi
lain ia bisa berkembang penuh—menjadi pohon mangga dan berbuah banyak—atau tidak berkembang
karena membusuk. Sebagai physis, jiwa
membuat manusia berkembang sepenuhnya sehingga serupa dengan yang ilahi atau
sebaliknya menjatuhkan manusia kekeadaan hewani. Untuk mengenali physis jiwa,
jalan terbaik adalah melihat dinamis
jiwa atau daya-daya yang muncul darinya—daya-daya
yang membuat jiwa bisa pasif (berkenaan dengan
yang bisa ia terima dan ia derita, pathe) dan aktif (berkenaan dengan
apa saja yang bisa ia lakukan, erga). Menurut Platon jiwalah yang menjadi
penggerak badan bukan sebaliknya. Jiwa menurut Platon adalah “dia yang
menggerakan dirinya sendiri” (autokineton).
Dalam Politeia, Platon membagi jiwa menjadi
tiga “bagian” (mere) sebagai “fungsi”—pembagian tiga fungsi jiwa merupakan
kemajuan besar dalam pandangan filsafat tentang manusia; Pertama “Bagian Rasional” (to logistikon). Kedua “Bagian Keberanian”
(to thymoeides) dan Ketiga “bagian Keinginan”
(to epithymetikon)—menunjuk hawa
nafsu. Pertama; epithumia
(secara fisik lokasinya dibawah sekat
dada sampai batas pusar—bukan usus dua belas jari, bukan ginjal, bukan pula
organ kelamin) mewakili nafsu–nafsu rendah dan sangat susah ditundukan oleh
rasio. Dalam kehidupan sosial politik di gambarkan sebagai kelas petani dan
pedagang yang orentasinya hanya mencari profit.
Kedua thumos; terletak di bagian thorax diantara leher dan diafragma dada—tidak
menunjuk organ paru-paru atau jantung—merujuk kepada segala bentuk efektivitas
rasa, semangat dan agresivitas. Bagian jiwa yang agresif dan digambarkan
sebagai prajurit mencari kemenangan dalam kompetisi dan harga diri. Ketiga logistikon; paling penting dan bagian terbaik dalam jiwa
manusia (fungsi rasional jiwa) bertugas memerintah dan mengendalikan dua
“bagian” jiwa lainnya, memberi tahu dan mengendalikan kuda putih (thumos) secara langsung dan dengan
kerjasamanya mengendalikan kuda hitam yang binal—bila perintahnya tidak ditaati,
logistikon akan mengirim perintah dan nasehat lewat mimpi. Eros; sebuah dorongan
menghidupi ketiga “bagian” dilambangkan sebagai sayap sehingga kereta jiwa bisa
terbang. Eros menopang jiwa manusia
secara keseluruhan. Ditataran paling rendah, eros terwujud dalam salah satu nafsu epithumia yaitu nafsu seks; ditataran harga diri eros berwujud keinginan untuk mencetak
perbuatan-perbuatan heroik demi cinta pada tanah air, profesi, atau harga diri;
sedang dalam tatarannya yang paling tinggi eros
dirujukan dalam diri para pemikir yang hasratnya ingin menggekalkan diri,
bukan lewat tindakan seksual penurunan anak, melainkan lewat pewarisan penemuan-penemuan
pemikiran. Dalam dialog Timaios, Platon mengatakan; hanya
“bagian rasional” bersifat baka sedang bagian-bagian lain akan mati bersama tubuh.
Ketiga bagian jiwa tersebut memiliki keutamaan tertentu; “Bagian Keinginan”
merupakan pengendalian diri (sophrosyne) sebagai keutamaan khusus,
“Bagian Keberanian” keutamaan yang spesifik ialah kegagahan (andreia), dan “Bagian Rasional”
dikaitkan dengan keutamaan kebijaksanaan (phronesis
atau sophia). Disamping itu ada lagi keadilan (dikaiosyne) yang menjamin kesimbangan antara ketiga bagian jiwa.
Dalam Phaidros ketiga bagian jiwa dilukiskan
dengan mitos seorang sais mengendarai
dua kuda bersayap—satu mau ke atas
(Bagian Keberanian) yang lain selalu menarik ke bawah (Bagian Keinginan). Sais (Bagian Rasional) hendak mencapai langit
tertinggi supaya dari sana dapat
memandang “kerajaan ide” tetapi karena kesalahan, kuda yang selalu mau ke bawah
(Bagian Keinginan) kehilangan sayap-sayapnya dan jatuh ke atas bumi. Menurut
mitos ini, tugas jiwa bergerak mengikuti arak-arakan kereta kuda para dewa—yang ditarik
sepasang kuda yang sempurna dan sama baiknya—naik menuju punggung langit
untuk mengkomteplasikan keindahan ilahi. Namun pergerakan eksternal jiwa-jiwa
itu tidak mudah dan penuh masalah karena kereta jiwa manusia ditarik oleh
sepasang kuda yang saling bertentangan.
Kuda putih cenderung taat kepada sais sementara hitam mengikuti kemauannya sendiri dan selalu ingin
bergerak kebawah. Ada sais mampu mengendalikan kuda-kudanya namun banyak sais tidak bisa mengendalikan sehingga jalan
kereta kacau, bertabrakan dengan kereta lain dan akhirnya jatuh kebawah. Mitos
ini juga hendak mengambarkan jiwa sebagai gerakan yang bergerak dari dirinya
sendiri. Tugas manusia bergerak
mengikuti kereta para dewa, menata hidupnya sesuai teladan keilahian. Namun
gerak eksternal seringkali sulit dilakukan karena mereka tidak mampu menata
gerakan internalnya dengan baik. Rasio
(sais kereta) tidak mampu mengendalikan dengan benar dimensi efektif (Thumos—kuda putih) dan nafsu-nafsunya (Epithumia—kuda hitam). Bila gerakan
internal kacau mereka masuk dalam dinamika kejatuhan. Jiwa mortal diterangkan Platon
sebagai thumos (afektifitas) unsur
”lebih baik” sementara yang ”lebih buruk” disebut epithumia (nafsu-nafsu)
kemudian rasio sebagai yang “terbaik” di banding kedua unsur lainya.
Bagi Platon jiwa
bukan saja bersifat baka—jiwa tidak akan mati saat kematian badan (immortal)—melainkan juga kekal, karena sudah ada sebelum hidup
dibumi. Sebelum bersatu dengan badan,
jiwa sudah mengalami suatu pra-eksistensi
dimana ia memandang ide-ide. Platon
berpendapat bahwa pada ketika itu tidak semua jiwa melihat hal yang sama. Ada
jiwa-jiwa yang melihat lebih banyak dari pada jiwa-jiwa lain—biarpun hanya
sedikit saja, tiap-tiap jiwa mesti telah melihat sesuatu dalam “kerajaan ide”.
Berdasarkan pra-eksistensi jiwa, Platon kemudian merancang teori tentang pengenalan. Menurut Platon, pengenalan tidak
lain dari pada pengingatan (anamesis)
akan ide-ide yang telah dilihat pada waktu pra-eksistensi. Bila manusia lahir
di bumi, pengetahuan tentang ide-ide tersebut—pra-eksistensi—sudah menjadi
kabur. Tetapi biarpun tersembunyi,
pengetahuan tersebut tetap tinggal dalam jiwa manusia dan dapat diingatkan
kembali. Lewat teorinya mengenai pengetahuan sebagai pengingatan, Platon mendamaikan pengenalan indrawi dengan
pengenalan akal budi— pengenalan indrawi (doxa) mencakup benda-benda konkret
yang senantiasa dalam keadaan perubahan sedang pengenalan akal budi (episteme)
menyangkut ide-ide yang abadi dan tidak terubahkan. Karena benda benda konkret
selalu meniru ide-ide maka pengenalan indrawi merintis jalan bagi pengenalan
akal budi. Dengan demikian Platon dapat menghargai pengenalan indrawi secara
positif.
C.
Ajaran
tentang Negara
Filsafat
Platon memuncak dalam uraiannya mengenai Negara dengan latar belakang pengalaman
pahit mengenai politik Athena sebagai usaha memperbaiki keadaan negara yang
dirasakan buruk. Menurut Platon negara yang ideal terdiri dari tiga golongan
(selain budak-budak). Golongan Pertama, penjaga-penjaga atau filsuf-filsuf karena
mereka mempunyai pengertian mengenai “yang baik”. Golongan Kedua, pembantu-pembantu
atau prajurit-prajurit ditugaskan menjamin keamanan negara dan mengawasi supaya
warga negara tunduk kepada filsuf-filsuf. Golongan Ketiga, dari petani-petani
dan tukang-tukang yang menanggung kehidupan ekonomis bagi seluruh polis. Karena
ketiga bagian jiwa punya hubungan khusus dengan keempat keutamaan, dengan
demikian ketiga golongan dalam negara ideal juga punya hubungan dengan keempat
keutamaan tersebut. Kebijaksanaan merupakan keutamaan khusus terdapat pada para penjaga dalam arti
yang sebenarnya. Kegagahan terdapat pada pembantu-pembantu dan karena golongan
pertama dipilih dari antara pembantu-pembantu, sudah nyata bahwa golongan
pertama juga mempunyai keutamaan ini. Bagi golongan ketiga—petani-petani dan
tukang-tukang—keutamaan yang spesifik adalah pengendalian diri. Akhirnya, keadilan terdapat pada semua
golongan, karena keadilan adalah keutamaan yang memungkinkan setiap golongan
dan setiap warga negara melaksanakan tugas masing-masing, tanpa campur tangan
dalam urusan orang lain. Sebagaimana dalam jiwa, keadilan mengakibatkan ketiga bagian jiwa berfungsi dengan seimbang
dan selaras, didalam Negara, keadilan menjamin kesimbangan dan keselarasan
antara golongan-golongan dan antara semua warga negara. Dengan demikian kita mendapat jawaban atas pertanyaan pokok bagi seluruh dialog Politeia; yaitu apakah keadilan itu? Pendiriannya tentang keadilan
ini Platon mengutamakan keselarasan dan keseimbangan sebagai gagasan Yunani
yang khas.
Menurut
Leon Robin, istilah “keutamaan” (bahasa Yunani; arete) merujuk pertama-tama pada ciri khas berkaitan dengan fungsi
optimal (excellency) suatu hal. Keutamaan sesuatu atau seseorang adalah ketika
ciri yang menjadi karakter khasnya mewujud secara optimal. Platon berbicara
tentang keutamaan; ”mata, telinga, anjing atau kuda”. Seekor kuda menjadi
“utama” ketika bisa berlari dengan cepat. Telingga adalah “utama” bila berfungsi
baik, artinya bisa mendengarkan. Tentang keutamaan seorang ahli bangunan dan
politisi di Apologia 18.a mengatakan bahwa “keutamaan seorang hakim” ketika ia
mewujudkan ciri dan fungsi khasnya sebagai hakim secara maksimal; mampu memilah
dan memutuskan secara adil mana yang benar argumentasi si penuduh atau si
tertuduh. Karena dalam diri manusia yang menjadi prinsip adalah jiwanya maka arete
muncul bila jiwa termanifestasikan secara optimal. Jadi kalau sebilah
pisau menurut kodrat “keutamaannya” memotong dengan baik dan mata
“keutamaannya” melihat dengan baik maka jiwa manusia memiliki “keutamaan” ketika
tiap ”bagian” maksimal secara kodrat menjadi fungsi-fungsinya sehingga muncul
manusia yang adil dan harmonis. Karena sejauh yang sejati dari jiwa adalah
rasio maka arete berarti optimalnya
pengetahuan dan refleksi rasional. Memiliki keutamaan, excellency artinya
ketika atas dasar pengetahuan (kebijaksanaan) secara rasional manusia mengerti
apa yang menjadi tujuan yang hendak dicapai dan sarana yang mesti dipilih.
Paling optimal bagi jiwa menurut Platon ketika semua “bagian” jiwa; epithumia, thumos, dan rasio bergerak harmonis—disitu manusia
bersifat adil.
Keutamaan
benar-benar menjadi sebuah keutamaan sejauh yang dipikirkan demi kebaikan
tertinggi. Kalau sudah dipikirkan demi kebaikan jiwa secara keseluruhan maka
keutamaan akan benar-benar menjadi keutamaan (optimalisasi bagi jiwa). Keutamaan
sekedar menukar rasa senang dengan kesenangan
lain yang lebih besar atau menukar rasa sakit lebih besar dengan rasa sakit lebih
kecil bersifat ambigu dan tidak pasti—ambigu karena dalam logika tukar menukar,
kita melakukan sebuah ketakutan (atau keinginan/nafsu) dengan cepat menundukkan
diri pada sebuah ketakutan (nafsu) lain yang lebih besar. Dalam hubungan ini, menurut
Platon satu-satunya alat tukar yang sah memperoleh keutamaan adalah pemikiran
(pengetahuan) karena memberikan landasan
stabil dan objektif untuk melihat sejauh mana sebuah tindakan benar-benar merupakan
keutamaan. Hanya lewat pemikiran dan pengetahuan yang benar orang bisa sejauh
mungkin menyerupakan dirinya dengan yang ilahi. Pemikiran tidak dengan
sendirinya membuat orang berkeutamaan, namun pemikiran memberikan landasan
argumentatif bagaimana seseorang memilih menjadi berkeutamaan atau tidak. Pemikiran
dan pengetahuan syarat bagi munculnya keutamaan.
Bagi Platon keutamaan
adalah pengetahuan terdiri atas
empat keutamaan pokok; sophrosune (pengendalian diri), andreia (keberanian), sophia (pengetahuan kebijaksanaan) dan dikaisoune (keadilan, ketegakan,
kebenaran). Dari keempat keutamaan, pengetahuan kebijaksanaan adalah keutamaan
yang mencerahi dan mengilhami keutamaan- keutamaan lainnya. Hal ini sejalan
dengan konsepsi Platon yang menempatkan “bagian” rasio sebagai pemimpin
“bagian-bagian” jiwa lainnya sementara keadilan adalah efek yang muncul
manakala tiap “bagian” jiwa menjalankan tugasnya masing-masing. Dalam arti
inilah optimalisasi hidup manusia (atau keutamaan, kesuksesan) secara hakiki
adalah pengetahuan karena berkat refleksi rasional (pengetahuan)
keutamaan–keutamaaan yang lain akan benar-benar menjadi keutamaan.
Semua
“bagian” jiwa bersifat hakiki bagi manusia secara keseluruhan. Maka
mengoptimalkan manusia menggapai keutamaan mengandaikan optimalisasi tiap
“bagian” jiwa. Pertama epithumia; bila dikendalikan (sophrosune, moderation) menjadikan
nafsu-nafsu optimal untuk manusia dan memunculkan keselarasan (symphonia dan harmonia) bukan menghilangkan nafsu-nafsu tetapi pengendalian diri
menundukan secara sengaja “nafsu-nafsu jelek yang beragam” kepada refleksi
rasional. Dalam tatanan polis, untuk jiwa manusia, keutamaan ini
secara khas di peruntukkan bagi kaum petani dan pedagang. Kedua Thumos; bagi kaum prajurit dan pelestari
polis (guardians) yang hidup
mendasarkan diri pada hasrat harus
dibimbing oleh keutamaan keberanian (andreia,
courage) agar para prajurit
menjaga dirinya tetap bertahan memiliki pikiran yang tepat berkenaan dengan apa
yang “baik dan buruk”. Refleksi rasional ini penting bagi thumos supaya prajurit tidak mudah tunduk begitu saja pada
kesulitan kesulitan-kesulitan, supaya mereka tidak mudah luluh di depan godaan
makan, minum, seks serta uang dalam situasi apa pun, thumos mesti di biasakan mereaksi dengan tepat sehingga meski
kondisi yang dihadapi berat dan susah, ia tetap berani memiliki apa-apa yang
membawa kebaikan baginya. Thumos perlu
dilatih dengan pengalaman “kepahitan, kesenangan, penderitaan dan ketakutan” (politeia 429c-d), supaya mampu bertahan
dalam keyakinan akan kebaikan dan tidak takut atau lari seperti pengecut di
depan kesulitan. Ketiga Sophia;
“bagian” jiwa tertinggi adalah rasio. Ia membimbing thumos memiliki pengetahuan yang benar mengenai apa yang mesti ditakuti
atau dihadapi serta mengendalikan epithumia agar tidak liar melainkan
terarah pada kebaikan dalam hal pemenuhan nafsu makan, minum dan seks. Rasio yang optimal adalah rasio yang memiliki
sophia (pengetahuan
kebijaksanaan).
Bila
seluruh “bagian” jiwa manusia menjalankan tugasnya masing-masing dengan baik
akan melahirkan dikaios (keadilan). Keutamaan sophia (pengetahuan, kebijaksanaan) dicapai manakala rasio manusia
memahami apa-apa yang bersifat intelligible
(yaitu idea) yang sifatnya ganda; pertama, untuk sampai ke sophia orang harus melakukan purifikasi—menundukan epithumia dan
mengendalikan thumos—dan kedua, setelah sophia diterima lalu turun lagi menerangi dan mencerahi hal-hal yang menjadi
objek inderawi “bagian–bagian” jiwa yang lebih rendah. Ditataran keutamaan sophia manusia mengerti sebenar-benarnya
kebaikan sehingga bisa mengarahkan seluruh “bagian” jiwa dengan keutamaan
keutamaannya.
Alcapone, 23 Oktober 2017
Sumber:
A. Setyo
Wibowo, Arete; Hidup Sukses Menurut Platon, Kanisius,Yogyakarta, 2010
A. Setyo
Wibowo; Lysis---Platon (Persahabatan), Pt. Kanisius, Yogjakarta, 2015
Dr.K.
Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius, Yogjakarta, 1975
Platon ; Keutamaan (Arete)
Reviewed by Alfian
on
Oktober 23, 2017
Rating:

Tidak ada komentar: