A. Riwayat Hidup
Sokrates
laihir di Athena, di Deme
Alopeke, sekitar tahun 470 SM dengan wajah buruk dan miskin.
Louis-Andre Dorion, Platon dan
Xenophon menggambarkan fisik Sokrates; hidung pesek dan lebar, matanya melotot
keluar, bibir bawahnya tebal, perutnya buncit dan besar. Sedemikian jeleknya sehingga dua muridnya
menamakannya Silene. Sokrates tidak
menyembunyikannya, misalnya mencari pakaian yang bisa menyamarkan kejelekan
tubuhnya. Musim panas atau dingin, memakai
pakaian yang sama dan berjalan kemana-mana dengan telanjang kaki. Meski buruk rupa, Sokrates adalah figur perayu
ulung sehingga anak-anak muda kaya
mengikutinya dan mulai ikut-ikutan berjalan dengan kaki telanjang, berhenti
mandi dan lain-lain---Aristophanes menciptakan kata baru “bertingkah seperti
Sokrates (esokraton)” untuk menggambarkan
pengikut setia Sokrates yang “rambutnya panjang, kotor dan kelaparan.
Sokrates tidak menulis satu bukupun namun semua
sekolah filsafat yang muncul sesudahnya menganggap sebagai guru mereka. Hidup Sokrates (menurut pengakuannya sendiri)
merupakan wujud ketaatannya pada “yang ilahi”.
Sementara yang ilahi, sebagaimana aku meyakininya sepenuhnya, memberiku
kewajiban untuk menjalankan kehidupan filosofis dengan memeriksa diriku dan
diri orang lain. Kehidupan
Soktares adalah sikap yang sepenuhnya taat kepada polis (negara kota) Athena seperti
warga negara lainnya; ikut
serta dalam berbagai pertempuran---karena
warga Athena wajib membela negaranya. Aktif
menjadi anggota lembaga demokratis polisnya,
dan berbicara terbuka mengungkap pendapatnya. Namun
akhirnya diangap pemberontak dan dihukum mati oleh polis Athena dengan tuduhan memberi
pengaruh buruk kepada anak-anak muda, mengajarkan atheisme (tidak
mempercayai dewa-dewi yang di hormati
polis) serta memasukan dewa-dewi baru yang tidak dikenal. Pamflet tulisan
polykrates menuduh Sokrates: a) menjadi inspirator Kritis Alkibiades
(musuh-musuh demokrasi), b) mengajak para pengikutnya tidak mentaati istitusi demokrasi (misalnya
pemilihan pemimpin dengan model undian)
dan c) menjadi partisan rejim Tirani 30.
Selain
Platon dan Xenophon, banyak tulisan lain bernada apologetis untuk menunjukan
bahwa Sokrates adalah model orang yang hidup menurut keutamaan, pertemuan dan
perbincangannya dengan anak-anak muda bukan untuk ‘’merusak’’ melainkan
memperbaiki hidup mereka. Sokrates
tidak pernah dekat dengan rejim manapun.
Ia menjadi korban situasi politik yang berkembang saat itu yang serba
resah (saat-saat menyakitkan pasca kekalahan perang saudara pada tahun 404 SM),
munculnya bencana baru dalam ujud Tiran 30, pendirian lagi demokrasi yang
diwarnai hawa balas dendam antara unsur dalam masyarakat dan kekecewaan atas
para “intelektual”---kaum sofis dimana Sokrates dianggap salah satunya---yang
telah mengharu-birukan Athena namun ternyata tidak pernah membawa Athena
berjaya. Sokrates dianggap orang
berbahaya dalam konteks seperti itu, sama seperti dulu ia juga dianggap musuh
rejim Tirani 30.
Louis-Andre Dorion, dalam Socrate
memberi argumentasi mengenai hukuman
mati Sokrates; Pertama, “tuduhan atheisme”, padahal baik Platon maupun Xenophon menunjuk
Sokrates orang saleh yang tetap
menghormati Zeus dan dewa-dewi yang bertahta di gunung Olympus---jadi tentu
saja ia tidak mengkritik para dewa-dewi yang tidak bermoral. Kedua, tuduhan mengintrodusir “dewa-dewi
baru” merujuk kepada Sokrates yang sering mengatakan bahwa mendapat “inspirasi” dari
Yang Ilahi. Cara bertindak demikian,
sama sekali tidak dilarang mengingat orang-orang Athena sering menggunakan
peramal dan para normal yang memiliki klaim yang sama tentang “inspirasi”. Ketiga, bahwa Sokrates “merusak anak-anak
muda” lebih bermotif politis untuk pembungkaman Sokrates. Tuduhan ini mau mengatakan tentang pengaruh
berbahaya yang telah disebarkan Sokrates di kalangan anak-anak muda. Praktek elekhos/dialektika
dalam arti penyanggahan yang diajarkan Sokrates membuat mereka mampu membongkar
kedok “sok tahu” orang-orang “tua” yang
selama ini di tokohkan sebagai “pandai bijaksana”. Bahwa Alkibiades, Xarmides dan Kritias---tiga
orang yang dianggap musuh-musuh demokrasi dan ketiganya terlibat di Pemerintahan Tiran 30
atau berkolaborasi dengan Sparta---orang-orang muda yang dekat dengan Sokrates.
B. Membela yang Benar
Sokrates membela diri tidak seperti yang biasa dilakukan pengacara yang rela memelintir argumentasi untuk
memenangkan hati hakim. Di depan model
juri rakyat yang melakukan voting untuk mengadili kasusnya, Sokrates
“memenangkan kasusnya” justru kelihatan provokatif. Sokrates menolak bersikap seolah-olah butuh dikasihani dengan meratap dan
memohon-mohon---Ia tidak peduli dengan penilaian orang mengenai citra dirinya. Sikap
keras kepala Sokrates selama pengadilan juga berkontribusi sehingga proses
pengadilan berujung pada keputusan fatal---Sebenarnya tidak menjadi maksud para
penuduhnya (mereka tidak bermaksud menghukum mati dan hukuman pembuangan sudah
lebih dari cukup. Seperti dalam
Apologia; “kalian tahu, aku telah dituduh dihadapanmu oleh banyak orang untuk
waktu yang lama, bahkan sebetulnya sudah selama bertahun-tahun sampai sekarang
oleh orang yang tidak mengatakan satu kata kebenaranpun. Orang-orang inilah yang aku takutkan, lebih
dari Anytus dan kerumunannya, meskipun mereka juga berbahaya. Tapi orang-orang itu lebih berbahaya, wahai
saudara-saudara (para pengadil); mereka telah memengaruhi pikiran kalian sejak
masa kanak-kanak kalian, dan telah membuat tuduhan-tuduhan terhadapku yang
menyakitkan kalian.
Di Apologia 38d-e dikisahkan; “Wahai saudara-saudara, barangkali kalian
membayangkan bahwa aku telah dijatuhi hukuman mati karena aku tidak memakai
argumen yang seharusnya dapat kupergunakan untuk meyakinkan kalian, seandainya aku percaya bahwa aku dapat
mengatakan atau melakukan suatu apapun yang dapat membebaskanku. Tetapi ini sama sekali tidak benar. Aku telah dijatuhi hukuman mati bukan karena
aku tidak memiliki argumen, melainkan karena aku tidak memiliki sifat tidak
tahu malu dan tidak memiliki keinginan untuk berbicara kepada kalian dengan
memakai kata dan ungkapan yang paling menyenangkan kalian, yakni menangis dan
meratap, dan melakukan serta mengatakan (e) banyak hal lain yang aku nilai sangat tidak patut bagi
diriku---hal-hal yang biasa kalian dengar dari orang lain. Tetapi, sama seperti aku tidak berpikir,
selama pembelaan diriku, bahwa aku harus melakukan sesuatu yang tidak pantas
dilakukan oleh seorang bebas hanya karena aku sedang dalam bahaya, maka kinipun
aku sama sekali tidak menyesali gaya pembelaan diriku seperti yang sudah aku
perlihatkan. Malah aku harus lebih jauh
lagi menyampaikan pembelaan diri yang seperti ini, lalu mati, ketimbang aku
tetap hidup dengan membela diriku sendiri dengan gaya orang lain”
Di
Athena 25 abad yang lalu, Sokrates menjadi inspirasi bagi jamannya. Kaum
megarik, kaum sinis, Platon (dan Platonisme), Epikurisme dan Stoikisme,
adalah contoh aliran-aliran filsafat yang melandaskan diri pada guru kaum
Megarik, dengan pelopornya Euklides, mengembangkan aspek Socrates yang jago
dialog sanggahan (elekhos). Kaum
Kirenaik yang dipimpin Aristippos
menekankan aspke (humanisme
agnostik)
Socrates. Sementara Anthistenes
yang pemimpin aliran kaum Sinis, akan mengikuti cara hidup Sokrates yang
meremehkan segala apa yang bersifat material dan adat kebiasaan masyarakat yang
terlalu konvensional dan (baik-baik).
Sokrates “tidak
tahu apa’’ dan menurutnya, kita
semua “tidak tahu apa-apa’’. Dalam
filsafat,Socrates bersikap sebagai orang yang mencari dan belajar sehingga selalu
dalam posisi tidak tahu. Sebagai
guru par excellence, Socrates adalah
murid abadi yang berupaya menggapai pengetahuan (dalam arti sophia/kebijaksanaan) yang senantiasa
lolos dari tangkapannya. Kebijaksanaan
tak pernah bisa di rengkuh, digenggam, dihentikan dan diobjekkan persis
karena kebijaksanaan adalah milik semua orang tanpa satu orang pun bisa
mengatakan sebagai miliknya. Pengetahuan akan kebijaksanaan hanya
bisa di tangkap secara sementara dalam dialog dalam perbincangan antara mita wicara.
Figur
Sokrates sebagai orang bijak yang ”tidak tahu apa-apa’’ hanya salah satu
gambaran yang di berikan orang-orang Yunani kuno kepada Sokrates. Xenopon
menggambarkan Soktares sebagai ahli pendidikan yang membentuk para politisi
Athena. Para filsuf abad ke-18 figur Socrates sebagai
rasionalis. Aristophanes menggambarkan Socrates sebagai
bagian dari kaum phusikoi (para pemikir tentang physis/nature/kodrat-alam) dan Platon
sebagai mana Socrates sebagai figur yang selalu mengatakan bahwa “dirinya tidak tahu apa-apa’’. Kisah hidup
dan pemikirannya---kita
ketahui dari penulis-penulis yang hidup di jamannya (Aristophanes), dari murid
(Platon dan Xenophon) atau dari kesaksian tidak langsung (misalnya dari Aristoteles)---senantiasa
mengisi hidupnya dengan cara urip in pepadhang (hidup secara terang, selalu jelas dengan dirinya sendiri).
Baginya, setiap ide, pengetahuan, pikiran dan bahkan cara hidup,
selalu harus dikonfrontasikan dengan orang lain. Kebenaran adalah jalan yang
tak pernah selesai, kecintaan pada kebenaran
(filsafat) adalah praktek hidup dan hidup adalah tuntutan untuk urip in pepadhang (hidup secara terang,
dengan berani dan rela hati meninggalkan kegelapan dan seluruh kerumitannya yang
sumir berbau kemunafikan).
D. Sikap Politik
Pada
tahun 431 SM pecah perang saudara yang di kenal dengan nama perang Peloponessos
(berakhir tahun 404 SM). Athena, yang hegemoninya atas polis-polis lain di Yunani
sedang membesar, mendirikan konfederasi
bernama Liga Delos. Ia berhadapan dengan resistensi polis-polis lain di bawah pimpinan Sparta yang mendirikan Liga
Peloponessos. Pada tahun (429 SM),
Athena di landa wabah sampar, dan
pada saat inilah Perikles meninggal dunia.
Lima tahun kemudian (424 SM) Sokrates kembali berpartisipasi dalam
peperangan polisnya Athena melawan Thebes
di kota Delion. Pada tahun 422 SM dan Sokrates kembali membela polisnya di Amfipolis. Sekitar tahun 420 SM, lewat orakel di
Delphoi, dewa apollon menyatakan bahwa Sokrates adalah orang yang palng
bijaksana. Atas dasar inspirasi ini, Sokrates memulai perjalanan hidupnya untuk
menanyai, memeriksa, dan menguji orang-orang sejamannya di Athena. Sekitar
tahun 412 SM, dikisahkan bahwa Sokrates menolak tawaran Arkhelaos, raja
Makedonia, untuk bergabung ke istananya bersama penyair dan ahli-ahli musik
Yunani lainnya seperti Agathon dan Euripides. Mulai tahun 407 SM, Platon
menjadi murid Sokrates dan setahun kemudian (406 SM)
Sokrates terpilih menjadi prutaneis
di majelis. Keberanian politisi yang ia tunjukan ketika di bawah pemerintahan
Tirani 30 dengan risiko di kenai hukuman mati, Sokrates menolak perintah para
Tiran supaya ia ikut menangkap (secara ilegal) Leon dari Salamis. Hal ini
menunjukan bahwa di bawah rejim politisi
apa pun, Sokrates selalu teguh memegang prinsipnya untuk tidak melakukan
sesutau yang tidak adil/benar.
Setelah
puluhan tahun perang saudara, Athena akhirnya di kalahkan Sparta. Munculnya
Tirani 30---rejim boneka buatan Sparta---dan salah
satu anggotanya bernama Kritias (sahabat Sokrates). Tahun ini tercatat
kematian Alkibiades (salah satu sahabat Sokrates yang membelok ke Sparta).
Hanya setahun Para Tiran berkuasa, pada tahun 403 SM, rejim demokrasi di Athena
di pulihkan. Pada
saat ini, Anaxgoras dan Protagoras sebelum Sokrates
di hadapkan ke pengadilan dan di jatuhi hukuman mati. Sokrates sebenarnya bisa
memilih hukuman pengasingan untuk menghindar dari kematian. Namun kecintaan dan
ketaatannya kepada polis
mendorongnya memilih hukuman mati meminum racun. Sikap hidupnya yang tanpa
kompromi hendak urip in pepadhang sehingga hidup etis ia pegang
erat-erat di anggap mengganggu di masa
demokrasi Athena.
Sokrates
menolak memainkan unsur penting dalam proses demokrasi formal yang di sebut
politik citra; bertindak “seolah-olah” supaya suara
terbanyak terbujuk mengikutinya. Bagi Sokrates, kebenaran dan jalan hidup politiknya, dalam polisnya, dihayati
Sokrates secara atipik. Membedakan publik (apa-apa yang kelihatan dan tampak di
depan umum) dan privat (apa-apa yang mestinya di jaga sebagai ruang intim
pribadi masing-masing). Mereka bisa membedakan apa yang
bersifat publik (misalnya, harta publik milik polis, partisipasi dalam pemerintah dan pertahanan polis) dan apa yang bersifat privat (yang
brekenaan dengan kepentingan pribadi, hidup keluarga, hidup ekonomi berkenaan
dengan harta milik pribadi, serta pendidikan anak-anak termasuk sekolah-sekolah
filsafat).
Sokrates
menyerang inti model politik demokrasi yang di pusatkan pada suara terbanyak
kaum kebanyakan. Di mata Sokrates, dari pada memilih kebenaran, orang
kebanyakan lebih muda di alihkan
perhatiannya pada apa-apa yang tampaknya
benar. Padahal bagi Sokrates, soal pilihan tidak bisa di buat main-main.
“Supaya sebuah piliihan itu tepat, menurutku, ia harus di landaskan pada
pengetahan (episteme)” dan bukan pada opini (doxa) atau faktor-faktor irasional yang bermain di wilayah
subliminal. Semua yang berkaitan dengan hasrat emosional (thumos) dan hasrat epithumia
(makan, minum dan seks, singkatnya uang) merupakan wilayah irasional yang
membuat akal sehat kita berkabut dan tidak mampu lagi mengatakan dan memilih
mana yang benar. Sokrates menjalankan apa yang di sebut sebagai private
politics, yang baginya adalah satu-satunya
politik yang sebenarnya---mohon jangan marah jika aku
memberitahu kalian kebenaran. Sesungguhnya, tidak ada orang yang kehidupnya
akan terpelihara oleh kalian atau kebanyakan orang lainnya, jika orang itu
sungguh-sungguh melawan banyak ketidak adilan dan pelanggaran hukum, dan
berusaha mencegah semuanya ini dalam kota kita. Melainkan, siapapun yang dengan
sungguh-sungguh berjuang untuk apa yang adil, dia harus, jika ingin tetap
bertahan hidup untuk waktu yang pendek sekalipun, bertindak secara pribadi dan
bukan di muka umum (idioteuein alla me
demosieuein)” (Apologia, 31d-32a, terj. Iones Rakhmat, hl.110).
Politik
yang sebenarnya, seperti hidup yang sebenar-benarnya, adalah memperjuangkan
yang baik dan adil. Praktek politik yang politicking,
entah dari seorang diktator, sekumpulan demagog atau anarki massa, di tolak
Sokrates. Dan memperjuangkan politik otentik seperti ini risikonya, selain
sibuk “memeriksa diri dan orang lain”, juga
kemiskinan material karena tidak sempat memperhatikan apa-apa yang normalnya
menjadi ambisi orang: kekayaan, posisi sosial dan politis. Kesibukan politisnya tidak ia jalankan di depan khalayak ramai, melainkan dalam dialog satu
lawan satu, dalam relasi intim dan private. Keterlibatan
Sokrates pada kehidupan polisnya ia
tunjukan lewat ketekunan memeriksa diri dan orang lain dengan metode elegkhos (dialog sanggahan) yang secara
konsisten ia terapkan dimana pun ia bertemu mitra dialog. Di mulut Sokrates
sendiri, hidup seperti itulah yang merupakan politik otentik. Sebagaimana yang diungkapkannya
sendiri; sementara aku sudah berpikir untuk tidak berdiam diri saja atau
menganggur dalam kehidupanku? Malah sebetulnya aku telah mengabaikan hal-hal
yang paling diperhatikan orang; mencari uang, mengurus perkebunan, mendapatkan
kehormatan sipil dan militer atau posisi kekuasaan lainnya atau mengambil bagian dalam kelompok dan
partai politik yang terbentuk dalam kota kita.
Politik
otentik Socrates adalah hidup dalam arti sedalam-dalamnya,
yang dijalankan dengan memeriksa diri dan orang lain, serta mencari dan
mengusahakan kebenaran/keadilan dan kebaikan secara pribadi maupun dalam hidup
bersama. C.D.C. Reeve,
Socrates, menerangkan bahwa hidup kita, entah itu yang bersifat pribadi maupun
publik (politis), meski terarahkan
kepada kebijaksanaan (wisdom) dan kebaikan (goodness). Sebagai warga negara sebuah entitas politis,
secara pribadi kita mesti mengusahakan agar jiwa kita menjadi yang terbaik dan
sebijaksana mungkin. Dan pun bila mau
masuk dalam hidup politik (menjadi jenderal, pimpinan politik atau anggota
partai politik), tugas pertama yang mesti di emban adalah mengusahakan bahwa
polis itu sendiri (dengan masing-masing warga negara didalamnya) akan menjadi
yang terbaik dan sebijaksana mungkin.
E.
Daimonion Sokrates
Hidup
Sokrates mengikuti bisikan dari daimonion
yang mencegahnya melakukan tindakan tertentu.
Daimonion ini yang membuat Sokrates menghindari politik. Sokrates berbicara
mengenal tanda dari yang ilahi (to tou theou semeion) atau suara daimonion (daimonion fone) yang kerap datang kepadanya sejak masa kanak-kanak
yang melarangnya melakukan atau mengatakan sesuatu, namun suara itu tidak
pernah mendorongnya melakukan sesuatu (Apologia
31c-d,40a-b (bdk. 24c), 41 d; Euthyphron
3b). Kata daimon merujuk pada (bagian
irasional) jiwa Sokrates yang memberikan instruksi
positif, atau sebuah (kepercayaan
religius menurut Brickhouse dan Smith), atau sebuah
suara batin yang bertindak sebagai hati nuraninya (Roslyn Weiss). Sokrates
menyatakan dirinya merasa mendapatkan kekuatan yang melampaui daya manusiawi.
Ia sadar akan keterbatasan rasio manusiawi dan menyadari adanya kekuatan supra
rasional yang mendorongnya melakukan itu
semua. Pertama, dalam Aplogia, Sokrates cukup menekankan keterbatasan
(pengetahuan manusiaw); Kedua
ada kesan kuat bahwa Sokrates sendiri percaya bahwa misi yang diembannya
bersifat “religius” dan; Ketiga, dalam
mengembang misi sepanjang hidupnya Sokrates
sering kali menggambarkan dirinya “dihinggapi”
kekuatan tersebut---Henri Bergson dengan tegas
mengatakan bahwa Sokrates benar-benar percaya suara dari daimonion-nya.
Misi
yang ia emban adalah misi religius dan mistik dalam arti yang kita pahami saat
ini, artinya, seluruh ajaran Sokrates yang rasional sebenarnya tergantung pada
sesuatu yang suprarasioanal (suara daimonion
). Sikap Sokrates sendiri terhadap sesuatu yang berulang kali ia katakan
sebagai daimonion, sesuatu yang
memiliki ciri illahi. Di teks Apologia
kita tahu bahwa (yang illahi)
itu dikatakan (tidak pernah memberitahukan sesuatu
secara positif). Adalah (yang
illahi) mencegahnya melakukan ini atau itu.
Namun “yang illahi” ini tidak pernah
mewahyukan secara positif sesuatu yang harus di lakukan (yang
illahi) itu hanya mengintervensi tindakan
sehari-hari Sokrates dalam bentuk negasi, seolah-olah “yang illahi” dalam
dirinya sendiri tetap tertutup dalam misterinya sendiri. Sepertinya “yang
illahi” memang hanya bisa di dekati oleh rasio Sokrates secara (negatif). Sokrates mendengarkan suara daimonion yang berujud negasi, namun
mengenai apa yang mesti dibuat, daimonion
itu diam seribu basa.
Barang
kali sadar akan karakter “yang illahi”
yang tak bisa ditembus rasio manusia inilah Sokrates berbicara memakai bahasa
jamannya tentang daimon. Sebuah
entitas antara “yang illahi” dan manusia. “Semua yang di sebut daimon berada di antara para dewa dan
kaum mortal. Terletak
di antara yang satu dan yang lainnya, ia memenuhi interval (antara
keduanya). Para
dewa tidak pernah mencampuri (urusan)
manusia (secara langsung);
lewat para daimon- lah
para dewa berbicara dan berkomunikasi dengan manusia, entah pada saat bangun
maupun pada saat tidur.
F.
Penutup
Sokrates, setelah empat abad kematiannya orang-orang Kristiani melihat
dalam diri filsuf dan pemikir spekulatif
ini figur pendahulu Yesus Kristus.
Kelompok religius lain juga melihat semacam Budha-nya Barat atau Konfusius-nya Barat. Bahkan para filsuf modern menjadi terpilah-pilah; Montaigne sangat terinspirasi doktrin moral Sokratik. Rousseau melihat bayangan dirinya sendiri
dalam figur Sokrates sebagai “orang benar yang tertindas”. Voltaire agak sinis menyebutnya “orang Athena
yang cerewet” dan memberi julukan “si bijak berhidung pesek” namun Voltaire
sangat bersimpati kepada figur yang menjadi korban intoleransi (agama). Hegel melihat dalam figur Sokrates “momen
pembalikan terpenting bagi Roh yang mulai mengarahkan dirinya ke
interrioritas”.
Dalam momen sejarah, Sokrates adalah hero tragis yang sudah
mulai melihat bahwa “subjektivitas ditemukan dalam kesadaran diri yang
mengandung universalitas. Namun
sayangnya, kesadaran itu belum mampu mengaktualkan yang universal di luar
dirinya secara objektif. Kierkegaard
akan berbicara dengan penuh hormat kepada Sokrates, sang bidan. Di mata murid-muridnya, bidan ini hanyalah
pembantu supaya mereka bisa kembali pada diri sendiri dan menemukan apa yang
menjadi pusat dari diri mereka sendiri.
Sedangkan Nietzche, benci sekaligus kagum di depan “ wajah ganda yang
sangat misterius dan ironis”. Nietzche
menyebutnya “rakyat jelata”, “dekaden”, “blasteran” yang membenci kehidupan dan
menderita hipertrodi (pembengkakan) rasio.
Dan Henri Bergson justru melihat dalam diri Sokrates mistikus sehingga
menempatkannya diantara para nabi dan kaum santo (orang suci) karena
pandangannya tentang “moral yang terbuka”.
Maurice Marleau Porty memuja Sokrates sebagai “patron” para filsuf yang
berani mengambil resiko demi pemikiran yang bebas dan hidup. Sokrates memang berwajah seribu, enigmatik
dan tak bisa digenggam. Karena hidup dan
kematiannya yang luar biasa historisitas figur ini berubah semacam mitos.
Sokrates; Maju Tak Gentar Membela Yang Benar
Reviewed by Alfian
on
Oktober 23, 2017
Rating:

Tidak ada komentar: