Filsafat modern mulai dengan prinsip Cartesian bukti tentang adanya diri kita tidak bisa disangkal. Pengenalan-diri dalam pengkajian filosofis seperti kata Cassirer bagaikan “titik Archimedes”---pusat yang tetap dan tidak tergeser dari semua pemikiran filsafat Pengenalan diri–begitu katanya—adalah prasyarat pertama bagi realisasi diri. Hakikat manusia tidak ditentukan oleh tambahan-tambahan dari luar, ia semata-mata tergantung pada penilaian diri, pada nilai yang diberikannya kepada dirinya sendiri. Ia hidup serasi dengan dirinya, dengan jiwanya, hidup serasi juga dengan alam semesta ; karena baik tatanan semesta maupun tatanan pribadi tidak lain hanyalah aneka ekspresi dan manifestasi dari suatu prinsip umum yang tersebunyi. Manusia membuktikan kemampuan kritis, daya pertimbangan, ketajaman berpikirnya, dengan munjukkan bahwa dalam saling hubungan tersebut Dirilah (Self)---bukannya Alam Semesta (Universe)--- yang memainkan peranan menentukan. Suasana itu adalah suasana daya pertimbangan, suasana pengkajian kritis terhadap Ada dan Tidak-Ada, terhadap kebenaran dan ilusi, terhadap kebaikan dan kejahatan. Hidup pada dirinya sendiri selalu berubah dan mengalir, namun nilai hidup sesungguhnya harus dicari dalam tatanan abadi yang memuat ketakterubahan. Tatanan abadi itu tidak terdapat dalam dunia inderawi. Tatanan abadi itu hanya dapat dicapai melalui daya pertimbangan---kemampuan sentral manusia--- yang bebas, otonom dan mandiri sebagai sumber utama kebenaran dan moralitas.
Apakah manusia? Sokrates membuat analisis yang teliti dan terinci atas sifat-sifat dan kebijaksanaan-kebijaksanaan manusia. Ia berusaha menentukan sifat itu dan merumuskannya : kebaikan, keadilan, keugaharian, keberanian, dan seterusnya. Benda-benda fisik dapat diterangkan berdasarkan sifat-sifat objektifnya, tetapi manusia hanya dapat dijelaskan dan ditentukan berdasarkan kesadarannya. Kita akan memperoleh gambaran tentang sifat manusia hanya bila bergaul secara langsung dengan manusia. Hanya dengan cara berpikir yang dialogis atau dialektis dapatlah kita mendekati pengetahuan tentang kodrat manusia. Dengan demikian, manusia dimaklumkan sebagai makhluk yang terus-menerus mencari dirinya—makhluk yang setiap saat harus menguji dan mengkaji secara cermat kondisi-kondisi eksistensinya. Dalam sikap kritis terhadap hidup manusia, terletak nilai sebenarnya dari hidup manusia. “Hidup yang tidak dikaji, “kata Sokrates dalam Apologia, “adalah hidup yang tidak layak dihidupi.
Perkembangan intelektual lambat-laun mulai mengubah pertanyaan “Siapakah manusia?” Descartes dalam Discours de la method mengangkatnya ke tingkat yang lebih tinggi dan untuk pertama kalinya semangat ilmiah, dalam artian modern masuk ke dalam daftar. Yang dicari sekarang adalah teori umum tentang manusia yang didasarkan atas observasi empiris dan prinsip-prinsip umum logika. Berbagai system metafisika abad keenam belas dan ketujuh belas sebagai perkembangan berikut dalam teori modern tentang manusia. System-sistem itu melalui jalan-jalan yang berlainan namun semua kepada tujuan yang satu dan sama. Giardano Bruno pemikir pertama memasuki jalur ini merupakan jalur perjuangan seluruh metafisika modern. Yang khas dalam filsafat Giordano Bruno adalah berubahnya arti istilah “ketakterbatasan”. Dalam ajaran Bruno , ketakterbatasan tidak lagi berarti pengingkaran atau pembatasan tetapi kekayaan realitas yang tidak terukur dan takkan terhabiskan dan daya intelek manusia yang tidak terbelenggu. Manusia tidak lagi hidup dalam dunia sebagai tawanan yang terkurung dalam dinding-dinding sempit berupa alam jasmani yang terbatas. Ia dapat melintasi udara terbuka dan meretas segala tembok imajiner berbagai lengkung langit surgawi, yang dibuat-buat oleh metafisika palsu dan kosmologi palsu. Alam semesta yang tak terbatas tak memberi batas pada rasio manusiawi ; sebaliknya, ia member rangsang besarkepada rasio manusiawi. Intelek manusiawi menjadi sadar akan keterbatasannya sendiri dengan mengukur daya kekuatannya pada keterbatasan semesta.
Manusia kemudian sampai pada titik baru , titik puncak dalam sejarah ilmu pengetahuan alam. Melalui karya Darwin; On the Origin of Species ciri filsafat-manusia yang sejati ditetapkan secara definitif, sekali dan untuk selamanya. Kini akhirnya filsafat manusia memperoleh dasar yang teguh. Kita tidak perlu lagi menuruti spekulasi-spekulasi mengawang, karena kita tak sedang mencari definisi umum tentang kodrat dan hakikat manusia. Masalah kita tinggallah mengumpulkan bukti-bukti empiris yang, dalam takaran berlimpah-limpah , ditunjuk oleh teori umum tentang evolusi guna membantu kita. Teori evolusi telah menghancurkan batas arbitrer di antara berbagai bentuk kehidupan organis. Tidak ada spesies yang terpisah, hanya ada satu arus kehidupan yang kontinu dan tidak terputus-putus. Kita kemudian dapat melihat manusia sebagai binatang dari jenis unggul yang mampu berfilsafat dan berpuisi dalam cara yang pada dasarnya sama dengan bila ulat sutera menenun kepompong dan lebah membangun sarang. Nietzsche mencanangkan kehendak untuk berkuasa, Freud Mengisyaratkan naluri seksual, Marx menobatkan naluri ekonomis. Setiap teori menjadi “ranjang Procrustes” di mana fakta-fakta empiris dibentang-bentangkan agar cocok dengan pola yang sudah diandaikan.
Sumber :
Ernst Cassirer, Manusia dan Kebudayaan : Sebuah Esei Tentang Manusia, PT. gramedia, Jakarta, 1990.
Ernst Cassirer, Manusia dan Kebudayaan
Reviewed by Alfian Renaldi
on
September 02, 2020
Rating:

Tidak ada komentar: