Mulla Sadra ;
Filsafat Wujud
Ketika
kulihat lautan, kulihat diri-Mu, ketika kulihat sahara kulihat diri-Mu,
dimanapun aku hadapkan wajahku, kulihat diri-Mu---Baba Thahir
Engkau
adalah pikiranmu, saudara, selebihnya adalah tulang-tulang dan serat-serat. Jika Kau berpikir tentang mawar-mawar,
Engkaupun sehamparan kebun mawar; jika Kau berpikir tentang dedurian, Engkaulah
bahan bakar bagi tungku itu---Maulana
Syana’I
A. Riwayat hidup Mulla Sadra
Mulla Sadra hidup,
kira-kira tahun 979 H / 1571 M – 1050 H
/ 1640 M di kota Syiraz Persia (menjadi Iran tahun 1935) dari keluarga terpandang. Ayahnya, Khwaja
Ibrahim bin Yahya, Qawwami dari keluarga Qawwami dikenal sebagai keluarga
ilmuan dan pemuka agama. Muhammad
Sadruddin bin Ibrahim Yahya Qawwami Syirazi dipanggil Sadra dan setelah jadi ulama dipanggil Mulla Sadra. Digelari
Sadra Almuta’allihhin karena
kedalaman pengetahuannya di bidang ketuhanan (sebagian mengaitkan dengan
karyanya Al-Hikmah Al-Muta’alliyah). Mengikuti pendidikan formal---juga
dididik khusus dengan mendatangkan guru-guru diantaranya Mir Damad seorang muallim tsalis
setelah Aristoteles dan Al-Farabbi---dan menguasai berbagai dasar cabang
ilmu; al-quraan, logika, sampai
kaligrafi, gramatikal, syair-syair Persia dan Arab. Dimasanya dia telah memiliki
perpustakaan terlengkap meliputi berbagai cabang ilmu; gnostik, filsafat,
syair-syair, tafsir al-quraan dan kitab-kitab hadis---bahkan naskah penulis sangat
langkah sekalipun.
Mulla Sadra menamatkan bidang
filsafat Peripatetik, filsafat iluminasi, gnostik, logika, ilmu kalam, fiqh,
tafsir, hadis, astronomi, matematika dan kedokteran. Pemikiran Mulla Sadra jauh melampaui
jamannya---masa itu, umumnya ulama
berasal dari kelompok Akhbariyyin
yang sangat kaku terhadap pandangan filosofis yang bersifat spekulatif---pandangannya
tentang Wahdah Al-Wujud dianggap sesat, zindiq dan kafir. MullaSadra kemudian meninggalkan Syiraz dan
memilih Kahak sebagai tempat melakukan kontemplasi ruhani. Di masa ini Mulla Sadra menulis beberapa buku terutama kitab Magnum
Opusnya. Sekitar tahun 1040 H Mulla
Muhsin Faid dan Imam Qali Khan Kasyani mengajaknya
kembali ke kota Siraz karena ayahnya
wafat. Mulla Sadra meninggal di Irak karena sakit tahun 1050 H/1640 M dan
sampai saat ini letak pasti kuburannya
tidak diketahui.
B. Aliran Filsafat Mulla Sadra
Mulla Sadra penggagas
aliran baru dalam filsafat Islam. Al-Hikmah
Al-Muta’aliyah menghimpun dua aliran
filsafat sebelumnya: Masyiyyin
(Peripatetik) dan Isyirakiyyin
(Iluminasionisme) dan melakukan sintesis serta penyempurnaan. Dua aliran tersebut sebelumnya saling
beroposisi: Peripatetik yang mendasarkan prinsip silogisme Aristotelian yang sangat rasional
dan Suhrawardi dengan iluminasinya bahwa pengetahuan dan segala sesuatu yang
terkait dengannya hanya bisa di capai melalui proses Syuhudi dengan melakukan elaborasi ruhani. Dalam pandangan Mulla Sadra akal dan syuhud
dua bagian tidak terpisahkan dan meyakini bahwa Isyraqi tanpa
argumentasi rasional tidak memiliki
nilai apapun begitupun sebaliknya. Metode Al-Hikmah
Al-Muta’aliyah memberi argumentasi
rasional, membimbing ilmuan dan intelektual menempuh jalan ruhani dalam ma’rifat
dan pencerahan batin---lalu disebut sebagai filsuf peripatetik, iluminasionis
sekaligus platonik Islam.
Kemunculan Mulla Sadra dengan filsafat “eksistensialis” dalam islam---Asala al-wujud sebagai prinsip
metafisikanya oleh Henri Corbin dinilai suatu ‘revolusi’ dalam metafisika
islam. Al-hikmah Al-Muta’aliyah
terdiri dua istilah; Pertama, Al-Hikmah
(kombinasi Iluminasionisme dan sufisme)
yang memandang hikmah dalam dua aspek; teoritis dan praktis atau pengetahuan
dan tindakan. Secara teoritis, tujuan hikmah mewarnai jiwa dengan gambaran
realitas sebagai dunia yang bisa dimengerti, yang menyerupai dunia objektif
sedang secara praktis melakukan perbuatan baik agar tercapai superioritas jiwa
terhadap badan dan badan tunduk kepada jiwa. Kedua, Al-Muta’aliyah (tinggi, agung, atau transenden); “kesempurnaan jiwa manusia melalui pengetahuan
terhadap realitas segala sesuatu yang ada sebagaimana adanya, dan pembenaran
terhadap keberadaan mereka, yang dibangun berdasarkan bukti-bukti yang jelas,
bukan atas dasar persangkaan dan sekedar mengikuti pandangan orang lain,
sebatas kemampuan yang ada pada manusia. Jika anda suka, anda bisa berkata
(kesempurnaan jiwa manusia melalui pengetahuan terhadap) tata tertib alam
semesta sebagai tatatertib yang bisa dimengerti, sesuai kemampuan yang
dimiliki, dalam rangka mencapai keserupaan dengan Tuhan”.
Aliran filsafat Al-Hikmah Al-Muta’aliyah merupakan sintesis---Tasawuf, Teologi dan
Filsafat. Teologi dengan karakter dialektikal-polemikal
(zadali), filsafat dengan karakter
demostratif atau burhani, teosofi
iluminasionistik dan gnostik dengan karakter dzawqi. Sintesis ketiga aliran pemikiran ini melahirkan
bangunan filsafat; tidak semata aksidental, melainkan metode
alternative, konseptual, dan ontologism sehingga filsafat Mulla Sadra dianggap
sebagai puncak evolusi pemikiran filsafat sebelumnya. Tujuan utama filsafat Mulla Sadra upaya
mencapai kesempurnaan hakiki manusia dalam konteks kehidupan sosial masyarakat
sekaligus menjelaskan secara spesifik pandangan teodesi dan eskatologi
sebagai perjalanan ruhani setiap manusia
yang hendak mencapai kesempurnaan melalui empat tahap intelektual manusia yang harus
dilewati mencapai kearifan tertinggi:
1.
Perjalan dari mahluk menuju Tuhan (Safar min al-Khalk ila al-haq);
dilakukan dengan mengangkat hijab kegelapan dan hijab cahaya yang membatasi
manusia dan Tuhannya. Manusia harus melewati
tahap; dari tahap jiwa, qalb, ruh, dan berakhir pada maqsad al-aqsa. Perjalanan ruhani baru
dimulai dari pelepasan diri dan bergabung menuju Tuhan dengan mengangkat
kesadarannya dari realitas mahluk lewat pembahasan wujud dalam makna umum juga
tentang hukum-hukum ketiadaan, entitas, gerakan material, dan substansial serta
intelek;
2.
Perjalanan bersama Tuhan di dalam
Tuhan (Safar bi al-haq fi al–haq); tingkat penyempurnaan
teologis karena wujudnya telah menjadi dirinya dan dengan itu, dia melakukan
penyempurnaan dalam nama-nama agung Tuhan;
3.
Perjalanan dari Tuhan menuju Mahluk
bersama Tuhan (Safar min al–haq ila al
khalq bi al-haq); Kesadaran Tuhan menjadi kesadarannya dan menempuh
perjalanan diantara alam jabarut, malakut dan nasut, serta menyaksikan segala
sesuatu yang ada pada alam tersebut melalui pandangan Tuhan. Tingkat ini meliputi proses penciptaan dan
emanasi yang terjadi pada intelek-intelek; dan
4.
Perjalanan dari mahluk menjadi
mahluk bersama Tuhan (Safar min al-khalq
ila al-khalq bi al-haq); berkaitan dengan ekskatologi atau ma’ad yang akan
terjadi pada manusia setelah kematiannya dan dengan bukti serta argumentasi
rasional.
Akal dan
wahyu, ketika masih berada dalam wacana asy-ariyah
dan mu’tazila, menjadi dua hal yang
bertentangan. Dalam Al-Hikmah Al-Muta’aliyah,
keduanya menjadi sekeping mata uang yang hanya berebeda sisi. Argumentasi-argumentasi
filosofis Mulla Sadra menjangkau nash-nash dan memberinya dalil-dalil rasional.
Mulla Sadra membuktikan bahwa wahyu dan hakikat yang diajarkan para nabi bukan
hanya dapat dibuktikan secara rasional tetapi keduanya tidak memiliki pertentangan
sedikitpun. Wahyu dan akal merupakan kesatuan dari gambaran kemanunggalan Wujud
Tuhan. Tidak sedikitpun terjadi
pertentangan antara akal dan wahyu. Akal
yang sehat dengan wahyu yang benar adalah satu warna.
C. Filsafat
Wujud
Istilah hikmah atau falsafah dimasukkan kedalam bahasa Arab sekitar abad ke-2/8 dan
abad ke-3/9 dari kata Yunani philosophia
kemudian dalam konteks peradaban Islam, menggunakan nama lain, seperti; kalam,
ma’rifat dan usul al-fiqh. Tipe filsafat islam disebut Hikmah
(Arab) atau Hikmat (Persia)
terjemahan dari theosophy (inggris).
Sebagian intelektual muslim memilih pemikiran rasional---para filosof dan
mutakallimun---sebagian memilih jalan mistis tanpa mempertimbangkan aspek-aspek
rasional---kaum sufi dan ahli al-tarikah pada umumnya---sedang
sebagian lainnya lebih bersikap dogmatis dengan menyandarkan diri pada
teks-teks suci (al-Qur’an dan Hadis) secara formal, tanpa interpretasi, baik
yang bersifat rasional, apalagi bersifat esoteric---terjadi di lingkungan fuqaha atau yang disebut sebagai ulama zahir (ulama eksoteris). W. Stace menyatakan bahwa irfan atau mistisme
berseberangan dengan prinsip logika karena irfan bersifat paradoks. Filsuf islam kontemporer (Muhammad Taqi
Misbah Yazdi) meyakini antara filsafat dan irfan dua disiplin pengetahuan yang
satu sama lain memiliki penekanan dan metodologi berbeda. Filsafat dalam ruang
lingkup ilmu Husuli berjalan
dengan akal rasional sedang irfan dalam ruang lingkup ilmu Hudhuri berangkat
dengan kalbunya---karena itu, pembahasan irfan tidak berada dalam ruang lingkup konsep,
proposisi, dan alam mental. Diskursus
terutama pada dua wilayah kajian ilmiah Islam---Ilmu kalam dan filsafat. Pertama, ilmu kalam umumnya berkisar pada
argumentasi tentang kebangkitan, kematian, barzakh, surga-neraka, kebahagiaan
dan pemderitaan, keabadian di akhirat, kebangkitan jasmani dan safaat. Kedua,
filsafat tentang kebangkitan meliputi ruang lebih luas---bukan hanya
persoalan di ilmu kalam tetapi meliputi masa lalu, jiwa dan raga, bentuk
keterikatan antara ruh, jiwa dan raga, kemustahilan, kebangkitan setelah
ketiadaan (I’adah al-makdum) dan lain
sebagainya. Metodelogi yang melandasi
bidang masing-masing; kalam sebuah cabang ilmu berusaha membuktikan kebenaran doktrin agama
dengan dasar nash dan sebagian argumentasi rasional didasarkan logika dan
dialektika (zadal) sedang filsafat usaha
mengungkap kebenaran dengan menjadikan
rasio sebagai pijakan utama.
Abad ke 7H, tasawuf
atau irfan mencapai puncak dengan
munculnya Ibn’ Arabi (638 H) yang memberi pengaruh besar terhadap dua hal utama :
Pertama, mendekatkan tasawuf dengan filsafat.
Kedua mendekatkan tasawuf dengan
syariat dengan membangun pondasi tasawuf atau irfan melalui dua konsep utama, Wahdah al–wujud dan Tajalli---jika priode sebelumnya irfan di rumuskan dalam bentuk
sastra pada priode Ibn’Arabi dengan kerangka filosofis---sehingga Ibn’ Arabi
dianggap pendiri konsep wahdah
al–wujud---namun penggunaan kata wahdah al–wujud pertama kali digunakan oleh
Ibn Taimiyah dalam mengkritik pemikiran Ibn’ Arabi. Menurut Ibn’ Arabi; wujud alam adalah Al–haqq dan hanya bisa di
nisbahkan pada Al – haqq bukan pada yang lainnya. Zat al–haqq sama sekali tidak terbatas.
Dirinya tidak dibatasi oleh apapun. Ketidak terbatasan ini dengan sendirinya
menafikan keberadaan yang lain, sebab jika ada satu ruang yang tidak
diliputinya berarti al – haqq di batasi oleh ruang tersebut. Oleh sebab itu,
Ibn’ Arabi meyakini bahwa perbedaan itu ada karena adanya keterbatasan, jika
keterbatasan itu diangkat, maka tidak ada lagi perbedaan kita dengan al- haqq.
1. Konsep
dan Realitas Wujud
![]() |
Aliran filsafat Islam dibawa
pengaruh Mulla Sadra membedakan secara tegas antara konsep wujud dan
realitasnya. Wujud merupakan realitas satu-satunya bagi mereka yang memiliki
intelektual yang dihasilkan dari proses iluminasi dan ketersingkapan. Wujud
adalah “sesuatu yang dengannya sesuatu yang lain menjadi mungkin untuk
diketahui “ atau ” wujud adalah sesuatu yang merupakan sumber dari seluruh
akibat“ atau ”yang memungkinkan untuk mengetahui tentang sesuatu adalah
wujudnya”. Secara derivatif
etimologis, wujud berasal dari akar kata
“wjd” memiliki arti dasar “menemukan” atau “mengetahui sesuatu”. Secara
etimologis, istilah tersebut berkaitan dengan istilah “wijdan” berarti
“kesadaran” atau “pengetahuan”, juga berkaitan degan kata “wajd” berarti
“kegembiraan yang luar biasa” atau “kebahagian”. Istilah lain yang secara filosofis memiliki
makna penting, yaitu maujud yang berarti “yang ada”---istilah ini di bedakan
secara tegas dengan istilah wujud sebagai “tindakan mengada”. Para ahli
metafisika muslim mengetahui sepetuhnya perbedaan antara “Ens” dan “Actus
Essendi” (Latin) atau “Sein” dan “Das sein” (Jerman). Ens atau Sein adalah bentuk partisipal dari
kata wujud, yaitu maujud, sedang Actus Essendi atau Das Sein adalah bentuk verbal
yaitu wujud.
Dalam pemikiran islam, alam tidak
sinonim dengan wujud. Keberadaan alam
dihadirkan Tuhan sebagai realitas yang abadi, sedang maujud lainnya diciptakan
dan fana (mengalami kehancuran). Intelek
manusia mampu membedakan antara wujud
dan mahiyah dari sesuatu, bukan sebagaimana adanya secara eksternal, dimana
hanya satu objek yang maujud, tetapi di dalam wadah pemikiran. Pemikiran memiliki kemampuan memahami sesuatu secara murni dan lengkap
sebagai mahiyah, dan berbeda sama sekali dari bentuk wujud. Artinya, mahiyah dipandang pada dirinya
sendiri dan sejauh merupakan dirinya sendiri.
Secara konseptual pikiran mengkaji secara terpisah hubungan antara
“ke-apa-an” dan “ke-berada-an” dari sesuatu yang maujud, memahami asal-asul
ontologis segala sesuatu dan saling keterkaitan diantara wujud, mahiyah, dan maujud. Mengenai realitas fundamental (asalah)
dari wujud dan mahiyah, filosof muslim terbagi dua aliran; Pertama, pendukung
prinsip (asalah al-mahiyyah)
realitas fundamental adalah mahiyah sedang
wujud adalah abstraksi mental semata (I’tibari) dan Kedua, pendukung (asalah al-wujud) realitas
fundamental adalah wujud, sedang mahiyah adalah abstraksi mental semata (I’tibari). Menurut Alparslan Acikgenc, aliran pertama disebut Aliran
Esensial mewakili pluralisme ontologisme sedang aliran kedua disebut Aliran
Eksistensial mewakili monisme
ontologia. Hampir tampa kecuali, para sufi yang menganut doktrin Wahdah al-Wujud penganut
eksistensialis-monisme karena bagi mereka, satu-satunya realitas adalah wujud.
2. Asalah al-Wujud
Suatu objek yang konkret
misalnya manusia ketika dipikiran menjadi dua bagian; (1) kemanusiaannya atau
keberadaannya sebagai manusia dan (2) keberadaannya sebagai sesuatu yang aktual
dan konkret. Jika menjadi proposisi ”dia adalah seorang manusia” dan ”dia ada”
(merupakan sesuatu yang ada). Pernyataan pertama menunjuk kepada mahiyah membedakan suatu objek dari
lainnya sedang pernyataan kedua merupakan wujud
yang menjadikannya aktual, nyata dan sama dengan seluruh yang ada lainnya. Kata mahiyah digunakan dalam dua pengertian yaitu: pertama;
mahiyah dalam arti khusus (bi al-ma’na al-khass), berkaitan dengan
jawaban terhadap peryataan ”apakah itu?”
dan kedua; mahiyah dalam arti
umum (bi al-ma’na al-amm) menunjukan
tentang sesuatu yang dengannya sesuatu yang lain menjadi ada atau merupakan
realitas (haqiqah) dari sesuatu. Mahiyah
dalam pengertian umum tidak bertentangan dengan wujud---karena wujud itu
sendiri adalah mahiyah menurut pengertian ini---sedang mahiyah dalam pengertian
khusus berbeda dari wujud karena berkaitan dengan sesuatu konsep didalam
pikiran atau hasil abstraksi mental---mahiyah dalam pengertian ini oleh Mulla
Sadra sesuatu yang bersifat I’tibari
dan menyatakan wujud sebagai sesuatu yang asli---prinsip asalah al-wujud inilah
yang mendominasi keseluruhan sruktur filsafat mulla sadra dan menjadi dasar
bangunan bagi system metafisikanya.
Mulla Sadra melakukan revolusi fundamental
dalam metafisika islam dengan menentang pandangan bahwa wujud tidak berkaitan
dengan realitas apapun di dunia eksternal dan menegaskan bahwa tidak ada yang
riil kecuali wujud. Wujud adalah satu satunya realitas---tidak pernah ditangkap
pikiran yang hanya bisa memahami mahiyah dan ide- ide umum. Karena mahiyah-mahiyah
hanya muncul dipikiran sehingga hanya fenomena mental dan hanya bisa diketahui oleh
pikiran. Di dalam Kitab Al-masya’ir, Mulla Sadra menyatakan ”wujud sesuatu yang
fundamental pada setiap yang ada, ia merupakan realitas (hakikah) dan segala
sesuatu selainnya hanya refleksi, bayangan, atau penyerupaan”. Disamping sesuatu
yang riil, wujud juga sesuatu yang positif, jelas dan tertentu sedang
mahiyah-mahiyah bersifat samar-samar, gelap, tidak tertentu, negatif dan tidak
riil. Karena mahiyah- mahiyah tidak ada pada diri mereka sendiri, maka
apapun yang mereka miliki adalah berkat kebersamaan mereka dengan wujud. Wujud-wujud
adalah riil dengan sendirinya, karena merupakan manifestasi dari hubungan
mereka dengan realitas absolut.
3. Wahda Al-wujud
Yang Esa memanifestasikan diri
didalam yang beranekaragam dan yang beranekaragam didalam Yang Esa. Terhadap
keesaan wujud dan keanekaragaman yang maujud tidak berarti meniadakan prinsip
keesaan wujud dan yang maujud. Penyebaran wujud kedalam berbagai maujudnya
terdiri atas tiga tingkatan wujud,
yaitu;
1.
Wujud
Murni, yaitu wujud yang tidak tergantung kepada
selain dirinya dan tidak terbatasi. Keberadaannya mendahului segala sesuatu
yang lain dan ia ada pada dirinya sendiri, tanpa perubahan dan pergerakan. Dia
adalah ketersembunyian yang murni dan kerahasian yang absolut, yang hanya bisa
diketahui melalui perumpamaan-perumpamaannya dan bekas-bekasnya. Karena
esensinya yang suci, ia tidak bisa dibatasi oleh determinasi apapun, sebab akan
menjadikan wujud-nya berada dibawah kondisi keterbatasan dan partikularisasi.
Oleh karena itu, keabsolutan ini hanya bersifat negatif, yang mengharuskan
peniadaan seluruh sifat da penilaian dari hakikat esensinya, serta meniadakan
pembatasan dan perubahan pada sifat, nama, atau yang selain itu, bahkan meniadakan
peniadaan-peniadaan tersebut, karena semua itu adalah konsep- konsep yang
merupakan abtraksi mental belaka. Pada
tingkatan pertama, wujud dipandang sebagai la
bi-syart, yaitu wujud dalam keadaannya yang tanpa syarat, mengatasi setiap
determinasi, bahkan sifat mengatasi setiap determinasi. Dalam kaitan ini, di
bedakan antara wujud sebagai la bi-syart
dan sebagai bi-la syart. Menurut
aliran Mulla Sadra, yang pertama berkaitan dengan Realitas Absolute atau
Realitas Mutlak yang digambarkan tanpa memandang dunia manifestasi dan
determinasi, sedang yang kedua mengacu pada Realitas Mutlak yang sama, tetapi
dengan memandang wilayah manifestasi;
2.
Wujud
yang keberadaannya tergantung kepada selain dirinya.
Ia merupakan wujud terbatas yang dibatasi oleh sifat-sifat yang merupakan
tambahan pada dirinya dan disifati oleh penilaian-penilaian yang bersifat
terbatas, seperti akal-akal, jiwa-jiwa, benda-benda langit, unsur-unsur serta
komponen-komponen yang membentuk manusia, hewan, tumbuh tumbuhan, batu batuan
dan lain sebagainya. Pada tingkatan
kedua, wujud dipandang sebagai bi-syart
syai, yang berkaitan dengan keadaan keadaan wujud kosmis yang tersusun
secara hirarkis, mulai dari yang bersifat keruhanian sampai pada yang material.
Di dalam seluruh keadaan tersebut, wujud di syaratkan oleh
determinasi-determinasi tertentu, yang menyebabkannya menurun melalui mata
rantai rangkaian wujud dan mengaktualisasikan segala sesuatu didalam lipatan
wujud universal; dan
3.
Wujud
Absolut; dalam penyebaranya, yang generalitasnya jangan
dikaburkan dengan universalitasnya, sebab wujud adalah aktualitas yang murni,
sedang konsep universal berada dalam potensialitas, yang membutuhkan sesuatu
untuk ditambahkan kepadanya agar ia menjadi actual dan konkret. Disamping itu,
keesaan wujud ini bukan lah esa menurut pengertian penjumlahan. Akan tetapi, ia
merupakan realitas yang menyebar ke ”kuil-kuil seluruh yang bersifat mungkin” (hayakil al-mumkinat) dan
“lembaran-lembaran seluruh mahiyah” (alwah
al-mahiyat), tanpa terikat pada deskripsi tertentu dan tidak pula di batasi
oleh batasan- batasan tertentu dan tidak pula dibatasi oleh batasan batasan
tertentu, seperti yang abadi dan yang baru, yang lebih dulu dan yang lebih
kemudian, yang sempurna dan yang kurang sempurna, yang menjadi sebab dan
menjadi akibat, yang substansial dan yang aksidental, serta yang terpisah dari
materi dan yang materil. Pada tingkatan ketiga, yang memandang wujud sebagai bi-syart la, Mulla Sadra menggambarkan
apa yang dalam terminology sufi di sebut sebagai al-ahadiyyah disatu pihak, dan
nafas al-rahman atau al-faid al-aqdas, yang menyebabkan nama-
nama dan sifat-sifat tuhan memasuki wilayah pembedaan atau disebut sebagai
al-wahidiyyah dipihak yang lain.
4. Tasykik al-wujud
Tasykik
atau gradasi pada prinsipya, tasykik berarti menjadi ”lebih atau kurang atau bisa
menjadi bertambah dan berkurang”. Setiap wujud mengalami suatu pembaharuan atau
perubahan terus menerus. Karena aksiden- aksiden tergantung kepada wujud dan bersifat
sekunder terhadapnya, maka gerakan yang terjadi pada aksiden- aksiden tidak
bisa di jelaskan secara tepat tanpa mengacu kepada gerakan pada substansi. Gerakan
yang bersifat eksistensial tersebut dimulai dari tingkatan yang paling bawah,
yaitu materi dan berakhir pada tingkatan tertinggi, yaitu Tuhan. Mulai dari tingkatan yang terendah sampai
kepada tingkatan tertinggi, wujud membuka dirinya dan memerlukan eksistensi
individual yang lebih konkrit.
Arwan Nurdin, 21 April 2018
Sumber:
Diskusi Teras Ubermensch 21 April 2018

Tidak ada komentar: